22. Bagai Perahu

194 22 6
                                    

Aku mendekati seorang anak laki-laki yang tengah bermain perahu-perahuan, di seberang posisi Mira.

"Dek, mau main sama Mas ngga?"

"Mau!!!" Girang sekali dia, rasa-rasanya dia memang butuh teman.

Aku mengambil satu perahunya, lalu ku mainkan sambil sesekali melihat Mira.

"Oya, namanya siapa?"

"Zaki."

"Nama Mas, Ikbal." Dia hanya mengangguk-angguk. Aku ngajak dia ngobrol-ngobrol ringan sambil bermain-main dengan perahunya.

Tanpa aku sadari ternyata Mira diam-diam mengamati. Saat aku melihat ke arahnya, dia tiba-tiba berpaling.

'Selucu itu kamu Mir.'

"Zaki tau ngga, kalo kita itu diibaratkan seperti perahu?" Zaki menggeleng.

" Saat perahu berada di lautan, ada banyak bahaya yang mengintai; badai, ombak besar,risiko menabrak karang. Tapi itulah yang membuat lahirnya nelayan-nelayan tangguh. Pun kita sebagai manusia, diterpa dengan berbagai cobaan, tapi cobaan itulah yang sesungguhnya menguatkan dan menjadikan kita pribadi yang lebih tangguh. Dan Allah memberi cobaan sesuai kadar iman dan kesanggupannya."

"Kalo gitu, kita ngga boleh putus asa yah kalo dapet musibah."

"Yaps seratus."

Untuk yang kesekian kalinya aku melihat ke arah Mira, tapi tidak aku jumpai dia di sana.

"Mas, Zaki haus. Mau nemenin ke warung ngga?"

"Boleh."

"Bu, Zaki ke warung itu sama Mas ini ya." Dia menuju seorang wanita berkerudung hitam yang tengah duduk di tikar, tak jauh dari tempat kami.

"Iya. Titip anak saya ya Mas." Saya mengangguk, lalu menggandeng Zaki menuju warung terdekat.

"Bu mau beli es susu coklat." Zaki langsung memesan minum.

"Mir, Ikbal." Samar-samar kudengar suara seorang perempuan yang tak asing di telingaku.

Aku pun menoleh ke sumber suara. Rupanya benar, itu adalah suara Mila, dan di sampingnya ada Mira. Beberapa saat kita beradu tatap, lalu sama-sama menunduk.

"Hai, adek." Mila rupanya sudah di sampingku.

"Hai."

"Lucu banget si kamu. Namanya siapa?"

"Makasih Mba. Namaku Zaki."

"Mau duduk sama Mba ngga,di sana?" Mila menunjuk tempat duduknya. Bersamaan dengan anggukannya, pesanan Zaki sudah jadi.

Duduklah kami berempat dalam satu meja. Aku berhadapan dengan Mira, dan Zaki berhadapan dengan Mila.

Sejak kami duduk, Mira tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sibuk memainkan jemarinya, gerogi kah?

"Oya Bal, gimana kabar tante sama om?" Mila berusaha mencairkan suasana.

"Tadi sempet teleponan, Alhamdulillah katanya baik.

"Oh syukur deh."

"Mba ko tahu Mas Ikbal?" Tanya Zaki.

"Dia sepupunya Mba. Oya nama Mba, Mila."

"Kalo Mba yang satu itu? Ko dari tadi diem terus."

"Mira." Jawabnya sambil tersenyum.Akhirnya, aku mendengar suara Mira.

"Oya Zaki mau jajan ngga?" Tawar Mila.

"Mau!!"

"Yuk, ke Ibu warungnya." Mila beranjak, menggandeng Zaki.

"Mil!" Mira seakan tak ingin Mila pergi, tapi Mila tidak menggubrisnya. Ya aku rasa ini akal-akalnya Mila.

Aku mengikuti pergerakan Mila dan Zaki, memastikan mereka benar-benar sudah menjauh dari kami.

"Mir." Panggilku. Aku merasakan bahwa jantungku berpacu lebih kencang.

"Aku beneran serius sama kamu,Mir. Aku rela menghentikan taarufku dengan Zila dan pindah pesantren demi dapetin kamu. Apa kamu sama sekali ngga mau buat ngasih aku ruang? Kalau kamu mau bukti, aku bersedia ko buat menghadap ke orang tuamu." Detak jantungku berpacu semakin kencang. Mira hanya diam. Jangankan menjawab, melihat ke arahku pun tidak,dan ini adalah awkward moment.

"Mir, mau ngga kasih aku kesempatan? Kesempatan buat mengutarakan niat baik ke orang tuamu." Mira masih diam.

"Mas Ikbal, ayo balik ke Ibu." Zaki menepuk pundakku. Aku mengangguk lalu berdiri. Masih ku amati Mira, tapi dia bergeming. Masih dengan kesibukannya memainkan jemarinya.

~~~

" Dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." QS. Al-Baqarah:286

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang