29. Yes, I Will

201 20 4
                                    

In this chapter, i will tell you about something. You know what? Sometimes i think, how can i do to get some readers. But, i forget someone, God.

Pada intinya, buatku pembaca adalah salah satu rezeki, sama dengan rezeki-rezeki lainnya yang telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Entah siapa dan berapa orang yang memplagiat karyaku, of course, I'm hurting, but it's okay.

*Seseorang bisa meniru atau mencuri ide kita, tapi rezeki kita tidak akan tercuri*

~~~

Siang harinya aku kembali mendapat panggilan, keluargaku kembali datang. Kali ini lengkap, ada Abi.

Karena Ummi Aida dan suami sedang pergi, kami hanya duduk di pendapa.

"Mi, Bi, gimana?" Aku kembali meminta pendapat, sama saat di ndalem.

"Kamu sendiri gimana Mir?" Abi palah balik bertanya.

"Ngga tau." Jawabku lemah sambil mengangkat kedua bahu.

"Kamu sendiri ngga tau keputusan apa yang mau kamu ambil. Peran kita hanya merestui, selebihnya ada di tanganmu."

"Jadi ... Ummi sama Abi merestui?" Mereka mengangguk.

"Tapi Mira 20 tahun aja belum Mi,Bi, masa udah nikah?"

"Ya kenapa? Ummi dulu nikah juga seusia kamu."

"Tapi Mira belum siap mental loh Mi. Cari uang aja belum."

"Cari uang tugas suami Mir. Kalo Ikbal udah ngajak kamu nikah, ya berarti dia ngga mempermasalahkan." Aku menghela napas. Cukup melihat dua pasang suami-istri dalam keluargaku aku paham, menikah tidak semenyenangkan yang dibayangkan. Memang, dalam setiap kondisi selalu ada yang mendampingi, tapi lihat, cobaan setelah menikah berlipat ganda.

Mba Sarah dan Mas Khunais, cobaan terberat mereka (yang aku lihat) adalah cibiran tetangga; ko belum hamil, anak saya yang kemarin nikah aja udah hamil. Padahal memang niat mereka untuk sedikit menunda.

Ummi dan Abi, cobaan terberatnya adalah masalah anak-anaknya. Apapun yang terjadi kepada anak-anaknya berimbas pada mereka. Aku belum siap untuk itu.

"Sekadar memberi jawaban 'iya' Mir. Soal mental, akan menguat dengan sendirinya." Ucap Ummi menghentikan lamunanku.

Aku kembali menarik napas panjang tanpa memberi respon lebih.

Pandanganku teralihkan pada layar handphone.

Mila : Alhamdulillah Mir, Ikbal sudah sadar. Mau ke sini?

"Alhamdulillah..." Refleksku.

"Kenapa Mir?" Tanya Mba Sarah.

"Ikbal udah sadar katanya Mba."

"Kalo udah nikah ngga boleh panggil nama loh." Celetuk Mas Khunais.

"Yee, Mas Khunais loh!" Hanya dibalas senyum.

"Mau ke sana?" Tanya Ummi.

"Izin ke siapa? Ndalem lagi pada pergi."

"Abi yang bilang Bu Aida nanti."

"Tapi rasanya kok agak ngga enak ya Bi?"

"Kenapa?"

"Ya takut temen-temen ngira Mira dispesialkan."

Jujur, ini adalah biggest insecurities yang aku alami selama masuk pondok pesantren. Keluarga ndalem kenal baik dan dekat dengan Ummi-Abi. Aku lebih mudah untuk mendapatkan izin dibanding yang lain.

"Mba rasa, itu bonus dari anak seorang Mariya dan Darmawan. Hehe." Jawab Mba Sarah.

Huft.

"Ya udah deh."

Kemudian Abi menelepon suami Ummi Aida, meminta izin untuk membawaku keluar -tanpa menyebut ke mana.

"Jadi, ini Mira jawab 'iya'?" Tanyaku pada Ummi-Abi. Mereka mengangguk antusias. Iyalah antusias, mau dapet mantu lagi.

Kami pun menuju mobil. Memulai perjalanan ke klinik.

"Mas, jangan cepet-cepet dong. Pelan aja." Pintaku pada Mas Khunais selaku pengemudi.

"Kenapa emang?"

"Deg-degan looo." Mas Khunais geleng-geleng, sementara yang lain tertawa kecil.

"Mir, kalo kamu udah nikah, jangan 'nunda' kaya Mba ya, biar anaknya main bareng anak Mba."

"Astaghfirullah Mba Sarah!" Aku mencubit gemas lengannya. Melihat ekspresi ku, mereka semua tertawa.

Benar adanya, Mas Khunais melajukan mobil dengan kecepatan rendah. Alhasil, perjalanan yang seharusnya sekian menit,menjadi lebih dari satu jam.

Sesampainya di klinik, aku menggandeng tangan Ummi.

Sekian menit berjalan kaki, tibalah kami di depan ICU tempat Ikbal dirawat.
M

ila yang sedang di depan ruangan dan menyadari kedatangan kami, langsung berdiri.


"Ikbal lagi tidur, Tante Rum lagi di kamar mandi." Aku manggut-manggut, lalu mengintip Ikbal melalui celah pintu yang sedikit terbuka.

"Masuk aja kali." Mila menyikutku.

Aku menggelengkan kepala sambil tersipu. Sejak sampai di klinik tadi, aku berprinsip untuk tidak memberi jawaban sebelum ditanya. So, i do it.

Tante Rumana keluar dari kamar mandi dan menyapa kami, lalu ngajak ngobrol. Tidak menanyakan jawabanku sama sekali.

Apa karena beliau berubah pikiran? Aku rasa tidak.

Oh, mungkin ini sebagai bukti Tante Rumana benar-benar memberiku waktu.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang