3. MasyaAllah

415 42 0
                                    

"Allahu akbar allahu akbar." Azan Magrib berkumandang.

"Ayo Mba siap-siap ke masjid, jangan lupa bawa Al-Quran untuk halaqoh." ajak Mba Zila sambil mengambil mukenanya.

Ku lihat sudah banyak santri yang mulai menuju masjid.

"Mba, berarti nanti bisa liat santri putra dong?" tanyaku sambil jalan.

"Engga, karena di samping pintu masuk putra ada tembok yang tinggi, tembok itu yang menjadi pembatas komplek putri."

"Oh, berarti masjidnya itu setengah ada di komplek putri, setengah lagi ada di luar?"

Mba Zila mengangguk.

"Ketat rupanya di sini."

"Bukan ketat lagi, luar biasa ketat. Bahkan santri putri maupun putra ngga berani saling lirik. Selalu menunduk jika berpapasan. Selain malu juga takut nanti jatuh hati. Beberapa kali aku pernah bertemu saat ada tasmi'akbar, MasyaAllah banget deh, ngga cuma fisik tapi juga suaranya."

"Hanya beberapa santri yang beruntung bisa dapet jodoh di sini. Karena untuk mendapatkan hati seorang santri sini susahnyaaaa." lanjutnya setelah diam beberapa detik.

"Emang kenapa kalau jatuh hati."

"Sangat menyiksa diri."

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Kapan-kapan kamu juga paham sendiri."
Aku rasa Mba Zila tau aku masih belum paham.

Bangunan masjid telah terlihat. Besar, megah.

Kami segera membentuk shaf, karena salat sudah hampir di mulai.

"Allahu Akbar." Suara imam terdengar.

"Bismillahirrahmanirrakhim."

'MasyaAllah.... '

Dua puluh menit selesai salat, lengkap dengan dzikir dan doa.

Kami segera menuju pendapa untuk halaqoh.

"Mba, nanti habis Isya langsung tasmi' ya di sentral, 29 dan 30 didampingi Mba Zila." kata Umi saat giliranku setoran.

"Karna Abi mu mengambil program tahfidz jadi yang difokusin hafalannya, boleh hafalan kitab juga, tapi ngga wajib," sambungnya.

Aku mengangguk, setelah itu mencium tangan Umi.

Tepat setelah semua santri setoran, azan Isya berkumandang.

Setengah delapan selesai.

"Ayo Mba langsung ke sentral, biar cepet selesai." ajak Mba Zila.

Aku mengangguk.

Jarak antara masjid dan sentral tak terlalu jauh, hanya tiga menit sudah sampai.

"Nih mic-nya."

"A'udzubillahiminasysyaithonirrajim. Bismillahirrahmanirrakhim. Tabaarakalladzii biyadihilmulku wahuwa 'ala kulli syainqoriir. Alladzii-"

"Assalamualaikum." Ada santri putra.

Aku menghentikan bacaanku.

"Waalaikumsalam." jawabku dan Mba Zila. Lantas aku melanjutkan lagi bacaanku.

"Mba mau ngantar galon."

"Taruh pojok." Mba Zila menjawab sambil terus menyimak.

"Sudah Mba, Assalamualaikum."

Aku kembali menghentikan bacaanku.

"Waalaikumsalam."

Sebelum pukul sembilan sudah selesai. Kemudian kami segera menuju asrama karena madrasah juga telah usai.

~~~

Ikbal pov

"Bal, Imamin. Abah tindhak. " kata Hanif saat iqomah Magrib selesai dikumandangkan.
Aku mengangguk.

"Oya, habis Isya juga suruh nganter galon ke komplek putri." lanjutnya. Aku kembali mengangguk.

Begitu salat Magrib selesai, aku segara mengambil Alfiyyah. Aku bertekad untuk mengkhatamkan Alfiyyah dalam waktu dekat, agar aku bisa ikut wisuda tahun ini.

"Bal, ayo nganter galon."kata Musa bersemangat setelah sholat Isya selesai.

"Berapa?"

"Cuma lima."

Aku mengangguk.

Aku dan Musa memang sudah menjadi pengantar galon tetap sejak Mas Habib mukim.

"Eh bentar dulu, mau ngaca, siapa tau ketemu Mira." Dia bercermin di jendela.

"Ngaco!"

"Dia kan santri baru, biasanya kan suruh tasmi'."

"Hmmm."

"Lo kalo dah denger suaranya ples liat orangnya juga bakal kesengsem." Cibirnya sambil terus ngaca.

"Dah gih buruan!"

"Oke dah ganteng."

Selama perjalanan dia tak henti-hentinya membicarakan si Mira.

"Bisa diem ga lu!"

"Oke deh diem. Tapi awas aja yah kalo di sana ketemu Mira lo kesengsem trus tanya-tanya mulu."

"Hmm."

Begitu sampai di parkiran samping masjid, aku mendengar suara seorang santri di sentral.

"A'udzubillahiminasysyaithonirrajim..."

'MasyaAllah, suara siapa ini?'

"Duluan bro." Musa mengagetkanku. Dia membawa galon sambil setengah lari ketika mendengar suara itu.

Aku menyusul di belakangnya.

'MasyaAllah.... Jamil jiddan.'

"Assalamualaikum," sapa Musa.

Santri yang sedang tasmi' menghentikan bacaannya.

"Waalaikumsalam." jawabnya bersama santri yang lain. Lantas melanjutkan bacaannya.

"Mba mau ngantar galon," Musa lagi.

"Taruh pojok." Kata santri yang sedang menyimak.

Begitu galon ke lima di taruh aku pamit.

"Sudah Mba, Assalamualaikum."

Dia kembali menghentikan bacaannya.

"Waalaikumsalam. "

Wajah santri itu mulai bersemayam dalam ingatanku sejak aku meninggalkan kompleks putri.

"Bal, itu loh yang namanya Mira." ucap Musa saat di dalam kamar.

"Yang mana?"

"Yang sedang tasmi'. Lo beneran ga kesengsem? "

"Paan sih?" aku membaringkan tubuhku.

"Ye lu mah! Gue beralih hati aja apa yah, lupain Arum pindah ke Mira."

"Serah deh. Mending lu tuh fokus ngatamin kitab, kalo udah baru deh."

"Btw, lu kan bentar lagi khatam nih, terus niat ngelamar ngga?"

"Ngelamar siapa?"

"Mira lah!" Dia udah ngga santai.

"Dia aja belum tentu mau."

"Nah itu, lu harus kencengin. Harus tambah rajin ke ndalem siapa tau ketemu."

"Ngaco! Ngga berkah tau! Udah lah gue mau tidur."

'Semoga mimpi Mira.'


Halaqoh = setoran hafalan Al-Quran
mukim = selesai mondok, tidak dipondok lagi.
Jamil jiddan = cantik sekali
Tindhak = pergi
Alfiyyah = salah satu nama kitab

Semoga suka. Jangan lupa pencet bintangnya yaaa

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang