4. Yaa Bunayya

367 34 1
                                    

"Alhamdu lil laahilladzii ahyaana ba'da maa aamaataanaa wa ilaihinnusyur."

Bacaan doa bangun tidur dari spiker masjid menembus gendang telingaku. Membuat otakku memerintahkan mata untuk membuka.

"Mba... Ayo bangun!" suara seorang santri terdengar nyaring. Aku yakin dia seksi keagamaan.

Aku lihat Mba Zila dan Bilqis sudah tidak ada di ranjang. Aku segera beranjak dan mengambil air wudu.

Begitu selesai wudu, azan Subuh berkumandang.

"Allahul kafi rabbunal kafi, qosodnal kafi wajadnal kafi..."

Suara santri putra menggema memenuhi seantero pondok pesantren pada jeda antara azan dan ikomah.

"Mba nanti ada roan?" tanyaku pada Mba Zila.

"Ada, jadwalnya dibagi ba'da Subuh usai kajian."

Usai salat Subuh langsung dilanjutkan dzikir, doa dan kajian.

"Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh." Terdengar suara Abah Ali.

"Waalaikumsalam Warrahmatullahi Wabarakatuh," jawab kami.

"Anak-anakku, Alhamdulillah kita masih diberi nikmat sehat untuk melaksanakan jamaah Salat Subuh. Saya akan menyampaikan tentang nasihat guru kepada muridnya yang saya ambil dari kitab washoya bab satu. Bahwasannya kedududukan guru terhadap muridnya sama dengan kedudukan orang tua terhadap anaknya.
Yaa bunayya innalustaadza la yuhibbu min talaamiidzihi illashsholihalmuaddab,
Hei anak lanang ingsun, sesungguhnya seorang guru tidak akan menyukai muridnya kecuali dia punya amal sholih dan adab.Seorang guru cinta kepada muridnya adalah karena kebaikan, maka bantulah gurumu untuk memberi kebaikan.Bagaimana caranya? Yaitu dengan berakhlak yang baik. Karena akhlak adalah perhiasan manusia yang hakiki. Apabila ilmumu tak kau hiasi dengan akhlak maka ilmu itu tak akan berguna untukmu."

Saat mendengar Abah Ali mengucapkan kata yaa bunayya aku teringat pada masa aku dihukum oleh Abi untuk ikut kelas tiga,belajar kitab washoya karena pada saat itu hafalanku kacau balau.

Aku duduk di kursi paling depan. Rasa kantuk yang luar biasa datang, tapi aku paksakan untuk tetap mendengarkan. Tertidur kemudian terbangun, begitu terus. Dan setiap kali aku membuka mata, yang aku dengar adalah yaa bunayya. Hingga akhirnya mataku tak bisa diajak kompromi.

Celetak!

Penghapus papan tulis mendarat tepat di kepalaku yang tertunduk, membuatku sontak bangun.

"Dihukum malah tidur! Sinih berdiri!" Abi duko. Takut? Tidak. Abi tak memandang aku anak saat ada di kelas, jika aku melakukan kesalahan maka akan diperlakukan sebagaimana santri lain melakukan kesalahan.

"Baca!" dawuh Abi sambil menudingku dengan penggaris. Saat itu aku masih belum lancar baca kitab kuning dan pegon, bahkan pegonku sendiri seperti ceker ayam.

"Mba, ko senyum-senyum sih?" Mba Zila membuyarkan lamunanku.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Teringat masa lalu." jawabku sambil cengengesan.

Mba Zila hanya menggeleng.

"....Salah satu cara membersihkan diri adalah dengan dermawan dan akhlak yang baik." hanya itu yang aku dengar sebelum Abah menutup kajian.

Begitu selesai para santri putri bergegas melepas mukena lantas melihat jadwal roan.

Clemira kamar mandi ndalem.

'Astagfirullah... Sepertinya aku sudah paten untuk menjadi pembersih kamar mandi.' batinku saat melihat jadwal roan. Bagaimana tidak? Dulu setiap kali roan di pondok Abi juga aku selalu ditempatkan di kamar mandi oleh Mba Sarah.

"Mba nanti gantiin aku ngisi kelas ya, aku di-timbali  Umi, kata Umi biar kamu yang gantiin." ucap Mba Zila begitu selesai roan.

"Jam berapa?"

"Jam sembilan sampai jam sepuluh."

"Bab berapa?"

"Bab tiga belas kalau ngga salah, tanya aja sama anaknya nanti." ucap Mba Zila sambil mencari kitabnya.

"Nih kitabnya." dia menyerahkan kitab kuning dengan sampul hijau.

Karena santri di sini banyak maka roan bisa selesai sebelum jam tujuh. Begitu selesai roan, sarapan lantas mandi.

"Mba Mira, masih kenal aku ngga?" tanya seorang santri yang masuk ke kamarku.

"Zulaikha."lanjutnya

Aku masih berusaha mencerna.

"Yang dulu duduk di sebelah Mba Mira loh, saat pelajarannya Abi, washoya."

"Oh... Mba Lekha?"

Dia mengangguk.

"Gimana tadi kajian Abah? Cukup untuk mengingat masa itu?" Mba Lekha meledek.

"Ah Mba ini rupanya inget juga?"

Akhirnya aku dan Mba Lekha mengulang masa lalu.

Dia adalah santri terdekatku dulu, tapi penampilannya sekarang banyak yang berubah, sudah lama tak bertemu juga, makanya pangling.

"Eh Mba, udah mau jam sembilan, aku mau menggantikan Mba Zila ngisi kelas."

"Washoya?"

Aku hanya tersenyum.

Begitu aku sampai di kelas, anak-anak sudah siap.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku buka dengan Al-Fatihah. Lantas membuka kitab bersampul hijau milik Mba Zila. Mereka mengikuti.

"Bab tiga belas?" tanyaku.

"Nggih."

'Nggih' sama artinya dengan 'ya', walaupun bisa berarti bahasa Indonesia tapi jarang ada santri mengucapkan 'ya'.

"fii fadhilatilamaanah, keutamaan amanah." aku memulai. Mereka mulai mengabsahi.

"Amanah menjadi perhiasan untuk orang-orang yang utama. Semakin dia bisa menjaga amanah, maka dia akan semakin mulia. Lawannya amanah apa?"

"Khianat."

"Khianat itu jauh lebih jelek dari sesuatu yang hina. Seseorang bisa menjadi hina jika selalu berkhianat, selain itu khianat bisa juga menghapus kedudukanya. Contoh berkhianat diantara adalah berprasangka buruk, menyontek, membocorkan rahasia dan sejenisnya. Jika kamu dipercaya untuk menjaga suatu barang, maka jangan biarkan orang lain mendekati barang tersebut....."

Tepat pukul sepuluh bab tiga belas selesai.


Roan = kerja bakti
Duko = marah
Dawuh =perintah
Ditimbali= dipanggil
Pegon = terjemah kitab kuning menggunakan huruf hijaiyah
Ba'da = setelah
Mengabsahi = mengartikan

Semoga bermanfaat ya, jangan lupa pencet bintangnya.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang