30. Late To Say 'Yes'

196 18 10
                                    

Di tengah asyiknya mengobrol, datanglah Om Budi. Beliau langsung membaur, ngobrol asyik dengan Abi dan Mas Khunais. Kami sekarang nampak seperti terbagi menjadi dua kelompok kecil;kelompok ciwi-ciwi dan kelompok laki-laki.

"Mba Mira!" Aku menoleh ke sumber suara. Ya, Zheous.

"Hai." Sapaku. Aku ingin menghindar, tapi rasanya tidak tega.

"Mba Mira ko lama ngga ke sini?"

"Em, sibuk,"kilahku.

"Salim dulu." Aku memerintahkannya untuk salim kesetiap orang. Lalu mengisyaratkannya untuk duduk di pangkuanku.

"Siapa Mir?" Tanya Ummi.

"Anak Dokter Valen, yang menangani Ikbal." Beliau mengangguk. Kami kembali melanjutkan obrolan. Tapi kembali terhenti oleh seorang perempuan.

"Zheous!" Panggilnya nyaris seperti bentakan,Oma Zheous. Zheous berdiri dari pangkuanku,lalu mendekat ke Omanya.

Kulihat Oma Zheous seperti mengamati seseorang. Saat aku mengikuti arah sorot matanya, aku yakin, bahwa dia tengah mengamati Tante Rumana dan Om Budi.

"Orang tua Ikbal?" Nadanya sangat tidak mengenakkan.Tante Rumana dan Om Budi mengangguk.

"Kenapa Bu?" Tanya Tante Rum santun. Oma Zheous hanya menggeleng.

"Mira, sudah saya peringatkan, bukan?" Tatapan Oma Zheous beralih ke arahku. Aku mengangguk pelan.

"Ayo Zheous." Oma Zheous membawanya pergi. Apa salahnya untuk sekadar dekat? Ah ya, aku sedikit lupa. Beliau takut mereka terpengaruh.

"Ehem." Terdengar suara orang batuk tapi tertahan, dari dalam.

Mas Khunais yang terletak di depan pintu persis mengintip ke dalam.

"Ikbal bangun," ucapnya.

"Ayo Mir." Tante Rumana langsung menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Astaghfirullah!

'Aku belum siap Tante!' jerit batinku.

Terlihatlah laki-laki yang terbaring dengan wajah diperban. Sorot mata yang kembali aku lihat setelah sekian hari, dan dengan seutas senyum yang masih tetap sama.

"Hai." Sapaku sedikit terbata. Dia senyum.

"Gimana?" Tanyaku. Dia mengedipkan mata, perlahan membuka mulutnya, seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Jangan dipaksa Bal." Perkataan Tante Rumana membuatku menoleh dan bertanya-tanya.

"Dia kesulitan bicara Mir." Mungkin beliau menangkap maksud dari raut wajahku.

"It's okay. Tomorrow maybe will be fine." Dia kembali senyum. Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskan perlahan.

"Mir." Panggilnya.

"Iya?" Sangat terlihat bahwa dia berusaha keras untuk bicara.

"Aku pernah denger bahwa, everyone have seven twins in the world. Termasuk kamu dan aku. I in love with you after I in love with your twins."

'What!!!'

"But, it didn't mean that I in love with you because her."

Kepalaku mendadak panas. Ada banyak hal yang berseliweran di kepalaku, yang dulu nampak rumit sekarang mulai terlihat jelas benang merahnya.

"I love you till the end of my life." Dia tersenyum. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, untuk beberapa kali.

Ikbal mengangkat alisnya, seakan bertanya 'kenapa?' atau mungkin 'gimana?'. Huft. Mungkin akan sedikit melanggar prinsip.

'Oke, this time to say, Mir!'  Tapi lidahku masih kelu. Aku menunduk, berusaha menenangkan diri untuk kemudian menjawab pertanyaan Tante Rumana tempo hari.

Kulihat Ikbal mengangkat tangannya, meraih tangan Ibunya.

"Mom." Dia tersenyum sambil menatap Ibunya. Lalu, perlahan memejamkan mata dan genggaman tangannya terlepas.

"Bal!" Seru Tante Rumana.

'No! Bal!! You hear me?' Panggilku dari hati yang paling dalam. Tapi dia tidak mungkin mendengar.

Orang-orang di luar berhambur masuk, kudengar suara Mas Khunais berteriak,

"Mas, Mas!" Aku rasa memanggil perawat.

"Ayo keluar dulu Mir." Mba Sarah marangkul bahuku. Pipiku basah sedari tadi, tapi aku tidak menyadari.

Aku masih terus menangis tanpa suara. Semua suara di sekitarku lenyap. Terganti suara Ikbal yang terus menggema.

Dadaku terasa terhimpit beton, sangat sulit untuk bernapas. Aku bersandar di bahu Mba Sarah sambil menggenggam erat tangannya.

'Ya Allah, dulu memang aku sempat berucap agar dia tidak lagi muncul dihadapanku. But, THIS ISN'T WHAT I HAD IN MIND!'  I take my words back. Tangisku mulai bersuara.

"Mira..." Panggil seorang laki-laki yang aku mengenali suaranya,Valen.

"Turut berduka cita."

"NO! HE IS STILL ALIVE!" Nadaku meninggi, tangisku semakin bersuara.

"He is still alive." Ulangku dengan suara yang lebih lirih.

Aku terlambat. Terlambat untuk menyadari aku menyukainya. Terlambat untuk memiliki jawaban. Dan terlambat untuk mempunyai keberanian mengutarakan jawaban.

I lost from my fear.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang