Dear Louis..

11.4K 1.2K 32
                                    

Nampaknya hari pertama kerjaku setelah liburan ini tidak berjalan baik. E-mail dari klien yang kutinggal seminggu membludak minta dibalas, belum lagi tumpukkan file diatas meja yang sudah menyapa untuk dibaca lalu ditandatangani.

Ditambah tadi bertemu seseorang dari masa lalu yang membuat perasaan ini sedikit aneh.

Ceklek..

Aku tertegun saat melihat pintu ruanganku dibuka.

"Louis?" Ya, dialah orang yang membuka pintuku.

"Apa aku mengganggu?" Tanyanya sambil menutup pintunya.

"Ya tentu saja. Dan, Louis, apakah kau tidak bisa mengetuk pintunya dulu sebelum masuk?"

"Apa aku harus mengulangnya?" Dia tersenyum sambil melihat-lihat isi ruanganku. "Pacarmu?" Dia menunjuk satu foto di dinding ruanganku.

Astaga, itu fotoku dan Ryan dan belum sempat aku copot dari sana. Aku pun keluar dari kursi dan dengan cepat mengambil foto tadi dan membuangnya ke tong sampah. "Mantan." Komentarku kikuk.

Louis melebarkan senyumnya lalu duduk di sofa magenta ruanganku. "Sit down here, Belle." Aku menuruti kemauannya dan duduk tepat di sebelah Louis. Jarak kami sangat dekat, karena sofa ini memang tidak sebesar sofa rumah kami dulu, eh, rumah Louis maksudnya.

"Mana yang lain?" Tanyaku seraya membenarkan rambutku yang sekarang sudah diurai.

"Sudah pulang."

"Kau kenapa tidak ikut pulang?"

"Memang tidak boleh sedikit reuni dengan mantan istri?" Dia mengeluarkan senyum khas Louis.

"Oh jadi kau sempat menganggapku istrimu. Ayolah Louis, itu kan cuma pura-pura." Aku mendorong lengan Louis yang hari ini memakai polo shirt warna misty.

"So, how are you, Belle? I mean, selama ini apakah kau baik-baik saja?"

"Aku baik, Louis. Tapi ya, aku tidak terlalu beruntung dalam masalah percintaan."

"Have you ever missed me?" Louis menatapku tajam.

Sangat, Louis. Dulu aku sangat rapuh karena merindukanmu.

"Hmm.. Ya. I've missed you. Tapi mungkin itu hanya rindu disuruh-suruh olehmu, tuan muda." Aku pun menyunggingkan senyum.

Tapi Louis tetap menatapku tajam, dia tidak menganggap ucapanku tadi lucu. Dan dia menggenggam tanganku. "Listen, Belle. Aku juga pernah sangat merindukanmu. Dan aku terlalu munafik untuk tidak menghubungimu. Belle, I know I did you wrong. But really, aku pernah tidak bisa tidur saat tur karena merindukanmu."

Lalu mengapa kau tidak memberitahuku? Mungkin kalau kau mengakuinya kita bisa bersama sekarang. Dan aku tidak perlu melewati hari-hari menyedihkan, Louis.

"Oh ya? Wow." Aku berkomentar singkat. Lalu aku melihat tangan Louis yang menggenggamku. Disana terlingkar sebuah cincin warna putih di jari manisnya. "Lepaskan tanganku, you belong to someone else." Ucapku sambil menyingkirkan tangannya.

"You're not jealous?"

"Seriously, Louis? Should I?" Tampak ekspresi wajahnya kecewa karena bisa jadi Louis mengharapkanku cemburu pada statusnya sekarang. Tapi maaf, Louis, I grew up and feel fine.

"I know you want me, Belle."

"I did. But not now, Louis." Aku menghela napas. "Aku sangat menyukaimu di hari-hari terakhir kita bersama. Tapi kau terlalu kebal untuk peka padaku."

"I'm sorry, Belle."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Louis." Aku pun berdiri. "So, can you leave now because I still have lot of things to do, Louis Tomlinson?"

Louis berdiri tepat di hadapanku. Aroma tubuhnya masih sama. "Sure, Belle." Lalu dia mengecup pipiku. "And I hope you don't mind if I ask you out someday."

Aku pun tidak berkomentar dan langsung membukakan pintu untuknya. "Have a nice day, Louis." Dia tersenyum lalu melambaikan tangan.

MRS. TOMLINSON ✖️ LOUIS TOMLINSONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang