Benar-Benar Kembali

148 37 0
                                    

Selamat tahun baru dan selamat membaca!

"Put, lo yakin masih akan ada angkot yang lewat?" tanya Zanna. Sudah lebih dari 45 menit mereka menunggu angkutan umum yang lewat, namun sepertinya nihil, tak ada satupun yang lewat.

"Setau gue masih ada jam segini," jawab Putra santai membuat Zanna ingin sekali memukulnya.

"Ya udah, kalo begini kita jalan kaki aja, gimana?" celetuk Resti membuat semua mata tertuju padanya. Ya meskipun jarak dari jalan ini ke rumah mereka tidak begitu jauh, namun masih cukup untuk membuat kaki menjadi pegal-pegal. Ditambah lagi keadaan sudah semakin larut, bagaimana jika ada begal atau perampok sejenisnya?

Zanna memikirkan nasib ulangan biologinya esok hari, nyatanya, ia belum selesai belajar tadi. Ia paling malas jika sudah disuruh untuk remedial.

Nadine juga sedang memikirkan omelan jenis apa yang akan ia terima di rumah nanti. Ibunya pasti akan marah besar melihat Nadine pulang larut malam seperti ini.

Begitupun dengan yang lainnya.

"Ya udah, ayo." Pada akhirnya, semua setuju untuk pulang dengan berjalan kaki. Daripada menunggu angkutan umum yang tak pasti? Lebih baik mereka mengorbankan tenaga untuk berjalan. Lagipula sesuatu yang dikerjakan bersama akan terasa lebih mudah, bukan?

"Eh, Ram, lo sama Agung pulang naik motor aja. Kasian Agung, kaki lo masih sakit kan Gung?" ucap Ocha.

"Iya, nanti kita ketemu di rumah lo," tambah Zanna.

"Enggak, gue bisa jalan," jawab Agung lalu beberapa detik kemudian ia terjatuh dikarenakan kakinya yang masih sakit. Dan sekarang, ia tak lagi punya alasan untuk mengelak.

"Nahkan, udah lo sama Rama aja, kita nggak apa-apa kalau jalan."

"Iya, hitung-hitung jalan malem, kapan lagi," tukas Resti.

Agung melihat keenam temannya. "Kalian nggak apa-apa jalan?" tanya Agung merasa tak enak jika harus meninggalkan temannya untuk berjalan kaki.

"Yah elah, Gung. Sejak kapan lo jadi lemah lembut begini? Nggak apa-apa lah, daripada kaki lo tambah sakit gara-gara dipaksain jalan," jawab Abie sarkas.

Agung segera menaiki motor Rama, dibantu dengan teman-temannya yang lain.

"Duluan, ya. Hati-hati," ucap Rama membuat keenam orang itu melongo. Seumur-umur, tak pernah sekalipun mereka mendengar Rama dengan kalimat hati-hati miliknya. Selama ini mereka hanya melihat tampang jutek milik cowok itu dan kata-kata yang mereka rasa tidak disaring dahulu sebelum dikeluarkan dari mulut.

Sepertinya, Rama sedang kerasukan. Ah, tapi tak apa, jika Rama kerasukan setan seperti ini mereka harap Rama akan kerasukan selamanya.

"Hati-hati juga." Rama dan Agung pun pergi. Kini, hanya tersisa enam orang yang sedang bertatap-tatapan satu sama lain.

"Berdoa dulu, semoga selamat sampai tujuan," ucap Putra. Dan benar saja, keenam anak itu benar-benar berdoa. Setelah itu, mereka mulai berjalan, kadang kala mereka berhenti sejenak untuk membeli minuman di warung yang ada di jalan dan beristirahat.

"Res, gendong gue dong!"

"Nggak, enak aja. Lo mau gue gempor?"

"Udah, jalan semuanya. Susah senang harus sama-sama." Semua orang menoleh ke arah Ocha dengan ekspresi terkejut. Ocha baru saja mengeluarkan mode Ocha Teguh miliknya. Ada apa dengan perempuan satu ini?

"Cie, Ocha lagi jatuh cinta ya?"

"Jatuh cinta sama siapa, Cha? Sama tetangga gue, ya?" celetuk Nadine membuat Ocha berpikir keras. Ocha tak begitu mengenal tetangga Nadine, lalu siapa yang Nadine maksud?

Beberapa detik kemudian ia tersadar.

"ENGGAK NAD, ENAK AJA!"

o0o

Tak butuh waktu 30 menit untuk sampai di rumah Agung dikarenakan keadaan lalu lintas yang sudah cukup sepi. Sepanjang perjalanan tadi, baik Rama dan Agung sama-sama tak berbicara. Rama yang dari dasarnya memang sudah tidak suka berbicara dan Agung yang takut jika mereka akan berakhir menabrak sebuah pohon jika ia mengajak bicara Rama.

"Makasih banyak, Ram," kata Agung sembari turun dari motor Rama.

"Motor lo mau diambil kapan?" tanya Rama tanpa membalas ucapan Agung. Ah ya, motor Agung tadi sudah dibawa ke bengkel terdekat yang ada disana.

"Paling besok."

"Oh."

"Lo mau nunggu yang lain dulu?" tanya Agung.

"Iya," jawab Rama.

"Ya udah, duduk disitu aja," kata Agung sambil menunjuk sebuah kursi panjang yang terbuat dari rotan di depan rumahnya. Tanpa pikir panjang, Rama duduk lalu mengeluarkan ponselnya, diikuti dengan Agung yang juga ikut duduk disampingnya.

"Lo mau kemana tadi?" tanya Rama membuka pembicaraan.

"Tadi? Kapan?"

"Sebelum lo kecelakaan."

"Oh, gue mau jalan-jalan aja, suntuk di rumah. Lo sendiri, ngapain di tukang bubur malem-malem?" Agung balik bertanya.

"Emangnya nggak boleh?"

Rama tetaplah Rama, kawan.

Beberapa menit kemudian Resti, Zanna, Ocha, Nadine, Abie dan Putra sudah sampai di rumah Agung. Mereka sama sekali tak terlihat lelah, malahan mereka sedang mengobrol sambil sesekali tertawa. Benar kata pepatah, semua terasa ringan bila dikerjakan bersama.

"Cie berduaan, hati-hati yang ketiganya setan," celetuk Abie membuat Agung melemparnya dengan botol plastik bekas.

"Gung, ada minum nggak? Seret nih gue daritadi ketawa," tukas Ocha lalu mengambil posisi untuk duduk di kursi. Namun pergerakan Ocha nyatanya kurang cepat, kursi itu sudah diduduki oleh Putra sebelum ia sempat memegangnya.

"Duluan ya, Cha," kata Putra sambil tersenyum dan mengedipkan satu matanya, membuat Ocha ingin mengeluarkan isi perutnya saat itu juga.

Keenam orang itu menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi di sepanjang perjalanan mereka, mulai dari Nadine yang hampir saja ingin tertabrak bus, Zanna yang tak sengaja tersandung batu besar karena tertawa hingga matanya menyipit, Abie yang melihat penampakan dan membuat semuanya berlari kencang karena takut, Putra yang pura-pura pingsan hingga Ocha yang terus-menerus diledek karena dikira sedang jatuh cinta.

"Kayaknya lo cocok jadi pemain film, Put."

"Iya, njir. Gue mengakui kalau pingsan lo tadi sangat natural."

Putra tersenyum bangga, akhirnya ia tau bakat tersembunyi yang ia miliki selama ini.

"Tapi gue masih agak shock sama Nadine tadi. Kalau nggak gue tarik mungkin lo udah tinggal nama, Nad," tukas Resti yang benar-benar panik tadi.

"Eh, tapi lo pada mau sesuatu nggak?" tanya Putra membuat semua orang melihat dan menyipitkan mata mereka.

"Ocha lagi jatuh cinta tau."

"APAAN SIH, ENGGAK!" sanggah Ocha dengan suara kencangnya dan membuat semua yang ada disana tertawa. Namun beberapa detik kemudian, mereka dimarahi oleh tetangga Agung karena membuat kebisingan di malam hari.

"Jadi, kita baikan, nih?" tanya Resti sambil menaik-naikkan alisnya.

"Memangnya kita pernah marahan?"

Dan malam itu, dengan ditemani sinar rembulan, senyum dari kedelapan manusia itu menyatu. Dalam hati masing-masing, mereka berjanji untuk terus bersama-sama, berjanji untuk selalu berbagi entah itu kegembiraan ataupun kesedihan, mereka berjanji untuk terus meneduhkan satu sama lain. Dan yang paling penting, mereka semua berjanji untuk menepati janji mereka.

The Seken One (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang