Insiden

153 38 11
                                    

Selamat Membaca!

Dua jam yang seharusnya mereka pakai untuk belajar tadi jadi digantikan dengan dua jam pencerahan dari Bu Rini, namun tetap saja, masih tidak ada yang mau berbicara satu sama lain, terutama Agung dan Rama, dua manusia itu bersikap bak dua orang yang tak pernah mengenal sebelumnya. Agung yang sudah terlanjur marah dan kesal, Rama yang sudah terlanjur membiarkan hatinya membeku.

Mengembalikan hati yang terlanjur beku bukan perkara yang mudah, kan?

Rama merebahkan kepalanya di ranjang dengan sprei motif animasi mobil merah nomer 95 kesukaannya itu. Jujur saja, Rama memang mendengarkan apa yang Bu Rini sampaikan, tapi ia masih tak tau, apa yang salah dengan dirinya? Apa kesalahan yang ia perbuat?

Rama masih tak tau dan tak mengerti.

Namun ia rasa, ia tak melakukan sesuatu yang patut disalahkan. Mengapa teman-temannya terlalu mendramatisir hal kecil hingga akhirnya tumbuh jadi besar? Berbagai argumen mulai bermunculan di kepalanya, dan semuanya seakan memihak pada Rama.

Tak ingin pusing, Rama berdiri lalu berjalan menuju meja belajarnya. Duduk, kemudian ia malah menyulitkan dirinya lagi dengan mencoba mengerjakan 20 buah soal fisika di kertas putih pemberian gurunya.

20 menit setelahnya, kertas putih itu sudah penuh dengan coretan jawaban. Tak ada satupun yang tau terbuat dari apa otak Rama. Rama mengambil kunci motor di laci mejanya, kemudian mengambil jaket biru yang ia gantung di belakang pintu, lalu pergi tanpa berpamitan dengan siapapun di rumahnya.

Di tempat lain, ada Resti, Zanna, Nadine dan Ocha yang asyik dengan handphonenya masing-masing. Menggerakan tangan mereka ke kanan ke kiri, mencoba menyelesaikan tugas mereka di sebuah game yang sedang banyak dimainkan oleh pengguna gadget.

Ocha berteriak histeris. "Eh gue dibunuh sama yang hijau! Cepet samperin gue sini!"

"Yang hijau? Yang hijau bukannya Resti?" celetuk Nadine sekaligus menengok ke arah Resti.

Pandangannya ia alihkan lagi kepada ponselnya, tepat detik itu juga, ia dibunuh dan layar handphonenya seketika menampilkan siapa penjahat yang sebenarnya.

Resti dan Zanna tertawa kencang dan ber-tosan ria karena berhasil mengalahkan Nadine dan Ocha.

"Tuh kan Cha, mereka berdua emang!" kata Nadine.

"Dari muka-muka lo berdua udah tau nih gue sebenernya, cuma gue diem aja," jawab Ocha.

"Main lagi nggak?" tanya Zanna sambil mengambil gelas berisi air mineral di meja.

"Nggak ah, capek gue."

Keadaan berubah menjadi hening. Hanya ada suara lagu dari laptop Resti, suara motor yang berlalu lalang, dan suara ketikan di handphone masing-masing.

Resti menghela napas perlahan. "Ini kita sampai kapan begini terus?" tanyanya. Kemudian ia meletakkan handphonenya di meja lalu mematikan laptopnya.

"Gue juga bingung, Res," jawab Nadine.

"Kalo didiemin doang ya nggak akan kelar," kata Zanna.

"Coba deh, pikirin, gimana caranya buat itu dua manusia mau ngobrol baik-baik."

Ocha mengerutkan dahinya. "Dua manusia?"

"Iya, siapa lagi kalo bukan Rama sama Agung."

"Susah sih, Res. Lo liat aja kemaren, kan? Baru kali itu gue lihat Agung marah sampai mukul," kata Zanna.

"Dua-duanya punya ego masing-masing, dan dikedepankan juga. Susah buat luluhin dua batu." Nadine bersuara.

"Ya maka dari itu, kalo bukan kita yang benahi masalahnya sampe kelar, siapa lagi? Udah tau itu dua orang susah banget diajak ngomong, apalagi kalau udah marah." Empat perempuan itu tampak berfikir keras, memikirkan jalan keluar yang tepat untuk masalah mereka ini.

The Seken One (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang