Bersama.

370 47 6
                                    

Happy reading, peeps!

Saya udah selesai, Bu!” Ocha mengangkat kertas soal di tangannya, ia berhasil mengerjakan 20 soal matematika itu hanya dalam waktu 20 menit. Ocha maju, dengan senyum sumringah ia berjalan menuju meja Bu Rini dan menaruh kertasnya disana dan setelah itu kembali lagi.

“Sia-sia lo, Ram, belajar tiap hari. Ini buktinya gue yang selesai duluan,” ucap Ocha bangga, sekaligus meledek Rama tentunya. Rama hanya mendecak dan memutar bola mata malas.

“Ocha?” Ocha menoleh, “ya, Bu?” tanyanya.

“Tiga nomor salah, kamu kurang teliti.” Bu Rini menyodorkan kertas matematika milik Ocha. “Yah, kok bisa salah sih? Saya udah ngerjain bener kok,” ujar Ocha sambil meneliti kertasnya lagi.

“Dua dikali tiga enam, bukan lima,” ucap Bu Rini membuat Ocha menghela napas. Hanya sebuah kesalahan kecil yang ia ulang di nomor yang berbeda, itu membuat hitung-hitungannya salah. “Kasih priviledge lah Bu,” pinta Ocha.

“Tidak.”

Ocha kembali ke tempat duduknya dengan wajah muram dan menunduk, saat ia mendongak, Ocha mendapati Rama yang menatapnya dengan pandangan seperti: makanya-jangan-sombong. Hal itu sukses membuat Ocha ingin mencakar wajah Rama sekarang juga.

“Nggak usah ngeledek, ya!” maki Ocha kesal lalu duduk dengan hentakan yang cukup keras.

Rama bangun dari tempat duduknya, bersamaan dengan Oliv yang juga bangun dari tempat duduknya, sontal hal itu mengundanh perhatian murid lain, bahkan Agung pun sudah terbatuk-batuk karena melihat pemandangan itu.

“Uhuk uhuk!” canda Agung bermaksud menggoda. “Aww, barengan aww!” celetuk Abie dengan jahil. “Biasanya yang bareng-bareng kayak gitu tuh jo—” Putra sengaja menggantukan ucapannya dan memberi lirikan kepada teman-temannya untuk melanjutkan.

“—doh!” Hanya Abie, Agung, dan Putra yang melanjutkannya. Tiga laki-laki itu bahkan sudah tertawa terbahak-bahak sekarang.

“Apa yang lucu, sih?” tanya Zanna yang bingung perihal apa yang mereka tertawakan. “Biasa, kurang belaian, makanya pada begitu.”

Mendengat kata 'kurang belaian' sontak Agung menoleh kepada si pelaku, Resti. “Enak aja! Lo nggak tau cewek gue ada berpuluh-puluh diluar sana?” Dengan bangga Agung mengangkat dagunya. “Enggak,” balas Resti acuh.

“Nih, Bu,” tukas Rama sambil menyerahkan kertas berisi jawaban yang telah ia kerjakan, begitupun dengan Oliv.

Bu Rini melirik jam sekilas, tiga menit lagi waktu les akan berakhir. “Semuanya, kumpulin!” ucap Bu Rini disusul dengan gerutuan muridnya.

“Yah gue belom selesai.”

“Ram, liat dong!”

“Tau lo mah nggak bagi-bagi!”

“Satu...dua....” Bu Rini mulai menghitung mundur. “Eh iya Bu bentaran, Cha apusan dong!”

“Eh, nomer satu 16 bukan?”

“Lupa gue.”

“Tiga, kumpulkan sekarang!” tegas Bu Rini. Semua murid mengumpulkan kertas mereka. “Abie baru sampe nomor empat? Dari sepuluh nomor?” tanya Bu Rini sambil terbelalak. “Hehe, lagi nggak fokus Bu,” balas Abie santai.

o0o

“Eh, katanya bakal ada taman ya di deket SD lo?” tanya Nadine kepada Ocha. “Oh ya? Gue juga baru tau.”

“Udah jadi tamannya? Kesana yuk!” ajak Zanna. “Belom jadi,” celetuk Agung yang sedang memakai sandal jepit hijaunya.

“Hari ini nggak main dulu, ya. Bunda gue lagi sakit. Doain biar cepet sembuh,” kata Resti dan dibalas anggukan oleh teman-temannya. “Eneg juga lama-lama ketemu lo pada.” Tepat saat itu juga sebuah sandal mengenai lengan Putra mulus.

“Sembarangan!” maki Resti. “Ya udah, gue duluan ya!” lanjutnya lalu pergi, disusul dengan teman-temannya yang lain. Hingga hanya tersisa Nadine dan Oliv.

“Gue duluan ya, Oliv,” pamit Nadine kepada Oliv. Ia menoleh kedalam rumah Bu Rini, mendapati Rama yang masih saja menanyakan soal pada Bu Rini. “Gila kali ya si Rama? Otaknya terlalu encer,” maki Nadine kecil.

Oliv mengikuti arah pandangan mata Nadine, “orang pinter mah beda!” tukas Oliv membuat keduanya tertawa. Nadine pergi, kini hanya ada Oliv diteras yang sedang menunggu supirnya datang.

“Pulang.” Sontak Oliv terkesiap mendengar suara tiba-tiba di sampingnya. “Eh, iya. Lagi nunggu jemputan,” jawab Oliv sambil terkekeh pelan.

Melihat Rama yang sudah memakai alas kaki namun tak kunjung pergi, Oliv menyernyitkan dahi. “Lo nggak pulang?” tanya Oliv. “Nunggu jemputan,” jawab Rama singkat.

Oliv hanya beroh-ria. “Eh itu supir gue udah jemput, duluan ya!” kata Oliv tanpa sadar melambaikan tangannya pada Rama dan pergi masuk kedalam mobil.

Kini, hanya ada Rama.

Cowok itu berjalan keluar gerbang, lalu pulang dengan berjalan kaki.

Ya, Rama selalu pulang dengan berjalan kaki.

o0o

To be continue.

Jangan lupa vote dan comment.

The Seken One (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang