Bagian 2 | Surat dari Ayah dan Sebuah Pintu

87 21 18
                                    

Halo, boleh minta vote dan komentarnya?? Aku harap kalian suka dengan cerita baru ini, terima kasih. Mohon maaf untuk typo-nya.
Happy reading^^

🧚‍♀️✨-----✨🧚‍♀️

Bruk

Aku meletakkan ember cucian di kursi kayu samping jemuran, kemudian menengadahkan kepala melihat ke arah matahari yang sudah menjulang tinggi di atas sana. Angin berhembus, memberikan rasa sejuk pada diriku yang kini berkeringat.

Andai saja ibu dan ayah masih bersama, mungkin hidupku tidak akan sesulit sekarang. Setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar mandiri dengan buku lama ayah, mungkin jika masih ada ibu disini bebanku akan sedikit lebih ringan. Mungkin jika ayah sering pulang pun aku juga tidak akan semenderita ini.

Aku memperhatikan langit yang penuh dengan awan bertaburan itu, mencoba menyelaminya.

"Apakah ada kehidupan lain di dunia ini? Sesuatu yang nyata namun terasa tidak nyata, muncul dalam bayangan namun logika tetap menolak. Apakah ada?" Tanyaku entah pada siapa, mungkin pada angin? Entahlah.

Aku mengambil baju basah di ember lalu menjemurnya. Berbeda dengan pakaian ibu tiri dan saudara tiriku yang tampak bagus dan bersih, pakaianku jauh lebih dekil dan terlihat kotor meski sudah dicuci sepuluh kali.

"Tega sekali mereka itu."

"Meow~"

Tiba-tiba suara kucing terdengar di dekatku, aku mencarinya dibelakangku tapi tidak ada.

"Meow~"

"Ya? Kamu dimana?" Tanyaku pada kucing itu.

"Meoww.."

Aku menyingkap kain putih yang aku jemur dan menemukan seekor kucing hitam duduk dengan posisi tegap dibaliknya. Kucing itu menatapku dan aku menatapnya balik, dahiku mengerut ketika mendapati mata si kucing yang berbeda dengan kucing pada umumnya. Aku mendekatinya dan berjongkok didepannya.

"Kenapa bola matamu warnanya merah?"

"Meow."

"Meow? Cuma meow?"

"Meow.."

"Meow-mu rasanya kaku sekali..." Gumamku sambil mengusap dagu kecilnya.

Lembut, aku tersenyum. Kuusap lehernya keatas, namun ketika telinganya tersentuh tiba-tiba kucing itu mau menggigit tanganku dan matanya langsung menatapku tajam. Aku mendengus geli, sedikit heran pada kucing satu ini. Dia seperti paham dengan apa yg aku katakan dan aku lakukan.

"Apa kamu lapar?" Tanyaku sambil berdiri, membuang air sisa cucian yang ada di ember.

Kucing itu hanya menatapku saja, tanpa mengeong.

Kring! Kring! Kring!

Suara bel sepeda terdengar dari luar pagar, aku menoleh ke arah paman Carl si pengantar surat yang kini tengah melambaikan surat ditangannya. Tanpa menghiraukan kucing itu, aku langsung berjalan menghampiri paman Carl.

"Ada surat untukmu, Isla." Ya, paman Carl itu tetanggaku sendiri jadi dia mengenalku.

"Dari siapa, Paman?" Tanyaku sambil menerima surat itu. Kubaca nama pengirimnya.

"Surat dari ayahmu. Jangan sampai ketahuan siapapun termasuk ibu dan saudaramu, itu yang tertulis di belakang amplopnya." Jawabnya.

Aku membalik suratnya dan benar kata paman Carl, disana ada pesan tersebut.

"Baiklah Isla, pekerjaanku masih banyak. Sampai jumpa." Pamit paman Carl.

"Iya hati-hati, Paman. Terima kasih untuk suratnya!" Seruku pada paman yang sudah melaju meninggalkan rumahku.

Isla Abrriela Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang