Part 23 : Trapped

365 24 0
                                    

Memandangi dinding putih di ruangan itu benar-benar membuatku nyaris mati kebosanan, televisi yang menyala juga bukan sesuatu yang bisa membantuku membunuh rasa jenuh. Hampir semua tayangan berbahasa Brasil dan kebanyakan tidak menarik. Jordi berpamitan kepadaku untuk pergi ke Sao Paulo menjenguk Neymar. Dari berita-berita televisi yang kulihat tadi pagi, sepertinya cedera Neymar benar-benar serius. Buktinya dia harus di bawa kembali ke rumah orang tuanya di Sao Paulo sesaat setelah pertandingan melawan Meksiko usai. Dan yang lebih membuatku sangat sedih adalah bagaimana Neymar harus membuat untuk fans dan menguatkan mereka untuk tetap mendukung Brasil di piala dunia, walaupun ia harus meninggalkan tim nasional Brasil lebih awal. Dia mungkin bisa menyembunyikan kesedihannya lewat senyuman, tapi mata pria itu sungguh tak dapat membohongi semua orang bahwa dia benar-benar hancur akibat cedera yang ia dapat. Neymar memang menyebalkan, tak jauh berbeda dengan Bastian, tapi aku tidak pernah mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.

Excuse me, Ms. I am new doctor here. And the hospital asked me to treat you.” Seorang pria muda berbadan besar masuk ke ruanganku setelah dua kali ia mengetuk pintu. Mengenakan jas dokter serta sebuah tas kecil pada tangan kanannya, ia mendekat ke arahku lalu mulai memeriksa cairan infusku. Aku memandanginya bingung, maksudku dia bukanlah dokter yang sebelumnya menanganiku. Kenapa ia kemari ?, padahal setengah jam yang lalu seorang suster datang kepadaku dan memberikan suntikan pada infusku. Apa aku sekarang harus mendapat suntikan lagi ?, padahal sebelumnya suster hanya datang pada jam sembilan pagi dan jam tiga sore, lalu dilanjutkan pada malam hari. Mereka hanya akan datang pada jam-jam lain jika Arthur atau Jordi yang memintanya.

 Si dokter mengeluarkan sebuah jarum suntik lengkap dengan sebotol obat cair. Tubuhku bergidik ngeri melihat cairan obat yang tercecer dari ujung jarum suntik, si dokter seolah-olah sengaja memperlihatkan keganasan jarum itu di depan mataku.

You have to get the injection through your arm. Give me your hand.” Pria itu lalu meraih tangan kananku, aku menangkap sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini. Semenjak aku dirawat di sini, baik dokter maupun suster tak ada yang memberikan suntikan secara langsung pada permukaan kulitku. Mereka selalu menyuntikkan setiap pada pada infus.

No…” Jawabku setengah berteriak, Aku menatap pria itu geram dan menangkis tangannya kasar. Pria itu marah saat ia tahu bahwa aku berusaha menjauh darinya. Aku nekat melepas jarum infus yang terhubung pada lengan kiriku dan bangkit dari tempat tidur.

Shit… I’ll get you.” Si dokter palsu mulai melangkahi ranjang, lalu berusaha mendapatkanku. Aku terus menghindar dan berlari menuju pintu.

Sialan… kenapa orang sepertinya harus datang di saat yang tidak tepat, di saat semua orang tidak ada di sekitarku. Hell… lihat siapa yang ada di luar ruangan, tak jauh dari kamarku seorang pria kekar lainnya telah berdiri menunggu. Dia langsung berlari ke arahku dengan brutal. Tak ada jalan lain lagi selain berlari ke arah berlawanan. Bersyukur akhir-akhir ini bayiku sudah mulai bersikap baik, semoga saja dia tetap melakukan hal yang sama sekarang.

Kakiku berlari semakin cepat menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang ramai oleh pasien dan perawat, tak peduli pada tatapan semua orang aku terus berusaha menjauhkan diri dari dua pria  yang mengejarku. Beruntung saat itu aku berlari tak jauh dari pintu utama rumah sakit, dari kejauhan sudah kulihat van milik teman-temanku terparkir diantara mobil-mobil pengunjung rumah sakit. Sosok jangkung Adrian adalah yang pertama kutangkap, di balik tubuhnya kulihat Arthur berdiri tepat di belakang van.

Tubuhku bergerak semakin cepat, berharap dapat mendekat pada teman-temanku secepat mungkin. Keluar dari bangunan rumah sakit, kaki telanjangku bersentuhan langsung dengan kasarnya bebatuan di halaman rumah sakit.  

Lost in BrazilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang