Part 3

334 25 3
                                    

Aku bersumpah tidak mau naik pesawat lagi, tubuhku terasa kaku dan mati rasa setelah perjalanan panjang melelahkan ini. Belum lagi rasa mual dalam perutku terasa seperti mengaduk-aduk tanpa ampun, jet lag ini akan membunuhku pelan-pelan. Aku melonggarkan baju tebalku seketika keluar dari pesawat, andai saja aku mengenakan T-Shirt seperti biasa tentu sudah kutanggalkan benda itu. Benar kata orang, Brazil benar-benar panas, dan jelas aku merasakan sendiri apa yang terjadi di sini.

Aku mendorong koper-koperku dengan troli besar milik bandara; bersusah payah terutama karena perasaan kacau yang terjadi padaku. Dengan penglihatanku yang sedikit buram, kucoba menemukan sosok Rafaella yang sudah berjanji untuk menungguku di bandara. Lihat sekarang, seorang gadis yang mengenakan atasan pendek dan celana katun selutut tengah berjejal di antara kerumuanan orang dengan sebuah kertas bertuliskan namaku. Tidak terlalu yakin aku pernah melihatnya, tapi Ya Tuhannn... itu Rafaella. Dia sangat cantik, bisa dikatakan yang paling menonjol di antara kerumunan itu.

" Hey Aku Ella." Aku menghampiri gadis itu dan menyapanya takjub; tentu saja dengan kolaborasi antara usaha menyapa bahasa Portugis juga perasaan takjub saat melihat Rafaella . Dia terlihat bingung sebentar, lalu menyadari bahwa akulah orang ia tunggu.

" Aww... itu kau?. Kau tidak seperti..." Rafaella tidak melanjutkan kata-katanya dan memandangiku sekali lagi. Uh uh, tentu saja aku tidak sepertinya. Serius jika dia mengucapkan sesuatu yang lain dengan nada seperti itu lagi, aku tidak akan segan-segan mengatakan bahwa dia terlihat lebih tua dari umur yang seharusnya.

" Aku seperti apa?" giliran aku yang bingung dibuatnya−pura-pura bingung, dan sakit kepala.

" Bukan apa-apa. Mari ku bawa kopermu." Rafaella mengalihkan kebingunganku dengan troli di tanganku. Keramaian di bandara saat itu seperti berdengung ditelingaku, sungguh efek naik pesawat mungkin nyaris setara dengan alkohol yang tidak bisa ku konsumsi.

Di depan bandara sudah ada sebuah mobil yang menunggu kami, sang supir mengambil alih koper-koperku sementara Rafaella dan aku sudah berada dalam mobil. Aku menyadarkan tubuhku sembarangan ke kursi penumpang, beruntung Rafaella mengerti keadaanku. Ia mulai memainkan ponselnya, memberi tahu Neymar kurasa.

Rasa pusing dikepalaku membuat guncangan di mobil terasa seperti berada di atas kapal laut, tubuhku yang teramat lelah tak buru-buru menuntut mataku untuk terpejam. Bahkan untuk tidur pun aku merasa sudah tidak berdaya lagi.

Rafaella membawaku ke sebuah hotel, sepertinya bukan hotel yang murah. Kuharap pelayanan ini diberikan secara cuma-cuma tanpa menagih biayanya padaku suatu hari nanti. Tiba di kamar, gadis itu memintaku untuk beristirahat. Mataku seperti langsung menepel rekat tak mau terbuka saat tubuhku sudah menyentuh kasur. Serius, aku dan kasur itu tak butuh chemistry yang lama untuk menjadi pasangan serasi.

......

Aku sudah lupa kapan aku pernah terbangun dari tidur yang panjang dan merasakan kelaparan luar biasa. Pusing yang kuderita sepertinya sedikit berkurang, aku langsung bisa membuka mataku saat suara dua orang wanita mengusik pendengaranku. Aku melihat Rafaella duduk diatas ranjangnya dengan tawa lebar, dan seorang wanita lainnya berdiri membelakangiku. Aku memang tidak terlalu mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, hanya saja kurasa perkataan teman Rafaella benar-benar sumber dari tawa lebar mereka. Obrolan cewek—ughh. Aku memutar bola mataku agak kesal, para gadis ini rupanya yang mengusik tidur indahku.

Aku mengamati suasana kamar hotel dengan seksama, ruangannya sangat lebar hampir setengah ukuran lantai bawah apartemen Jordi. Dengan dua buah ranjang besar yang berdampingan—salah satunya yang aku tempati sekarang. Ada dua buah televisi besar yang menempel di dinding di hadapanku. Dan sepertinya tirai yang tertutup di sebelah ranjang Rafaella itu merupakan dinding kaca. Aku penasaran pemandangan macam apa yang ada di luar sana.

Lost in BrazilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang