Sisa-sisa suka cita dari pendukung Chile masih dapat kulihat di sekitar Estadio Beirario. Meskipun malam sudah begitu larut namun masih ada beberapa orang yang berkumpul disana merayakan kemenangan dengan menyalakan kembang api. Aku seperti seorang yang begitu menyedihkan sekarang, menikmati kemenangan negara lain tanpa bisa melakukan apa-apa.
Kurasa Porto Alegre bukanlah kota yang mudah tertidur di malam hari, terlebih letak stadion yang diapit jalan raya membuat aku bisa menikmati malam tanpa takut harus merasa gelap. Mobil-mobil yang lewat seperti meraung-raung di jalanan. Percaya atau tidak, bahkan ada beberapa orang Brasil yang merayakan kekalahan Spanyol dengan mobil mereka.
Aku melangkahkan kaki menjauh dari van tempat Rafael dan Adrian tertidur pulas. Aku tidak melihat Arthur sejak terakhir ia membawakan makan malam untuk kami semua. Pria itu terlalu sulit untuk diluluhkan, aku penasaran apakah dia selalu seperti itu pada semua orang.
Angin pantai semakin kencang menampar kulit telanjangku, sulit sepertinya berada di Brasil tanpa merasakan udara kencang dari laut. Tubuh dan juga pikiranku terasa sangat lelah, seluruhnya. Bahkan apa yang kurasakan sekarang lebih buruk dibanding dengan jet-lag yang sebelumnya ku alami. Tapi ini Porto Alegre, bukan Rio dimana aku punya hotel yang setiap saat bisa kudatangi jika aku ingin tidur. Aku juga tak tahu dimana hotel tempat Anna mungkin menginap, dia tentu tidak akan bisa terlalu jauh dari Iniesta.
Sekali lagi kakiku mengantarkan ketepian pantai Porto Alegre yang sepi, suara deburan ombak membuatku sedikit bergidik, mereka terasa sangat nyata dan mungkin akan menelanku hidup-hidup jika aku berani melangkah lebih dekat lagi dengan bibir pantai. Aku duduk diatas pasir dan merasakan bagaimana pasir putih itu begitu lembut saat menyentuh kulitku. Lampu-lampu pinggir pantai yang terang membuat pandanganku ke langit sedikit kabur, tidak ada bintang-bintang seperti malam sebelumnya. Dengan keadaan yang sepi seperti ini aku merasa bahwa seluruh kawasan pantai beserta lautan itu adalah milikku.
" Tidak tidur ?." aku bahkan tak menyadari saat seseorang sudah duduk di sampingku. Arthur, dia datang kepadaku dengan cara yang berbeda. Terasa sangat asing—Arthur yang kutahu tidak akan bersikap ramah pada Ella. Tapi saat ini dia datang dengan ego yang nyaris terkikis semuanya, entah kemana pria itu membuang semua keegoisannya.
" Terlalu lelah untuk tidur." Jawabku singkat, aku mulai bermain-main dengan pasir dengan tanganku untuk mengurangi rasa canggung yang menyerang. Bagaimana pun juga dulu saat pertama kali bertemu dengan pria ini, aku nyaris mengenalinya sebagai Jordi.
" Yeah... aku tahu bagaimana rasanya itu." Arthur segera melepas topinya dan meletakkan kedua tangannya di samping dan membukanya lebar, membiarkan tubuhnya bertumpu penuh pada kedua tangan kokoh itu.
" Bagaimana lukamu ?." Aku bersimpati, hatiku mengingkari tindakanku tersebut karena merasa bahwa Arthur tetap pantas mendapatkannya. Kulihat memar berwarna merah tua seperti bentuk dua buah busur panah pada sudut bibirnya.
" Well... Gadis gila itu harus kubalas suatu saat nanti." Jawab Arthur enteng, sekarang pria itu bertingkah seperti akan kembali pada Arthur yang semula.
" Paling tidak kau sudah kuperingatkan." Aku tertawa menyeringai menanggapi kata-katanya.
" Siapa kau sebenarnya Ella ?." Arthur memandangiku lekat, serius jika ia terus bertingkah seperti itu, ia akan semakin mengingatkanku pada Jordi.
" Aku Ella."
" Kau lebih dari sekedar Ella."
" Apa yang ingin kau tahu dariku Arthur ?, kau sendiri masih menjadi sebuah misteri bagiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost in Brazil
Action(cerita ditulis tahun 2014, maaf atas kelabilan dan alur yang masih abal-abal) Petualangan baru Ella kembali di mulai saat ia terpaksa harus ikut dengan Jordi ke Brasil untuk piala dunia. Kerinduannya akan petualangan ekstrim bersama Boixos Nois ad...