Frei POVAku selalu melaporkan secara detail hari-hariku menggantikan Freya kepada saudari kembarku. Freya merasa sikap Suga berubah karena biasanya Suga akan menggandeng tanganya kemanapun mereka pergi, tapi tidak padaku bahkan tak jarang Suga menatapku dingin seakan aku orang asing. Kami mulai curiga kedok kami telah terbongkar. Freya ingin memastikan sendiri perubahan sikap Suga dengan diam-diam menghadiri pagelaran teater musikal yang seharusnya dia mainkan. Freya kuatir bahwa kekasihnya itu akan berlaku seenaknya sendiri.
Benar saja, Suga merubah beberapa adegan kami sehingga terkesan bahwa Bella dan Edward sedang berselisih paham. Beberapa adegan menuntut Suga untuk mencium keningku namun yang dia lakukan justru mencium punggung tanganku. Parahnya, adegan terakhir yang seharusnya Edward mencium bibir Bella, digantinya hanya dengan berpelukan. Aku dan Freya membicarakan hal ini hingga larut malam.
Dua hari setelah teater musikal, aku masih menggantikan posisi Freya dikarena kondisi kakinya yang masih belum memungkinkan untuk berjalan jauh. Seperti biasa, Suga tidak pernah pergi dari sisiku bahkan ketika kami makan siang.
Seperti saat ini. Kami berdua sedang berada di kafetaria kampus. Aku menikmati segelas boba milk tea, sementara Suga seperti biasa sedang menyeruputi ice latte pesananya. Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana pola tidur Suga, dilihat dari banyaknya konsumsi kopi yang diminumnya, sepertinya pria ini suka sekali begadang. Memang yang dia konsumsi bukan hanya kopi hitam. Tapi tetap saja mereka satu jenis.
Suga sangat berbeda dengan Damar. Kekasihku itu bukan penyuka kopi. Dia mau meminumnya tapi tidak sefanatik Suga. Ah! Damar. Betapa aku merindukanya. Tersiksa rasanya hanya bisa melihatnya tanpa bisa memeluk. Apa yang sedang Damar kerjakan hari ini ya? Apa dia merindukanku sama seperti aku merindukanya? Ketika aku hanyut dengan lamunanku tentang Damar, tiba-tiba sebuah suara muncul tepat didepanku.
"Hai kalian. Suga, gadis ini akan pulang bersamaku kali ini."
Aku menelan alot cairan boba didalam mulutku. Aku kenal suara ini dengan baik. Aku mulai mendongak menatap pria yang tengah berdiri menjulang dengan senyum tampanya dihadapanku. Sungguh nikmat Tuhan mana yang aku dustakan ini. Aku memandang kaget kearah Damar lalu menoleh kearah Suga yang sepertinya tidak perduli dengan keberadaanku disebelahnya. Suga meletakan gelas kopi kosong dihadapan Damar lalu beranjak pergi begitu saja. What the hell! Dia melakukan ini lagi? Serius, Freya harus mulai mempertimbangkan untuk mencari pengganti Suga. Lelaki ini tidak punya hati.
"Sebelum kalian pergi, buang ini. Selamat bersenang-senang." Titahnya lalu melenggang pergi lagi-lagi tanpa menoleh kepadaku.
Astaga! Aku kesal setengah mati. Mana ada pria yang dengan mudah meninggalkan gadisnya bersama lelaki lain. Bahkan membiarkan gadisnya diantar pulang pria lain, walaupun mereka berteman. Apa Suga tidak cemburu kepada Damar? Ini Freya loh yang sedang digandeng Damar. Aku kesal, sungguh.
Damar melambai senang kearah Suga yang terus berjalan menjauh. Suga sempat melambaikan tangan tanpa berbalik. Sikap mereka membuatku bingung. Akhirnya Damar menggiringku menuju parkiran. Aku mengekor saja dibelakangnya. Setelahnya, tanpa berlama-lama, aku menaiki mobil milik Damar berharap dia tidak menculiku. Tapi harapan tinggal harapan. Mobil Damar melaju bukan pada rute pulang. Aku mulai curiga.
"Ini bukan jalan pulang?" Tanyaku mulai kuatir.
"Kita jalan-jalan dulu." Ucapnya santai dengan senyum sumringah. Ada apa dengan pria ini?
"Ke-kemana?"
"Nanti juga tau."
Jantungku berdebar tak karuan. Bukan hanya karena berada satu mobil berduaan dengan Damar, tapi juga kuatir aku akan ketahuan olehnya. Ditambah dengan kebiasaan burukku. Kebiasaanku adalah aku akan menjadi gagap ketika sedang gugup. Aku mati-matian berusaha tidak gagap dalam berbicara, dan perbanyak diam adalah solusinya. Maka itulah yang terjadi selama perjalanan yang entah kemana. Sesekali aku melirik kearah Damar dan mendapati pria itu tengah tersenyum-senyum sendiri. Aku jadi heran dibuatnya, sesenang itu dia bisa semobil berdua denganku, ralat, dengan Freya. Sesekali pula kami akan bertemu tatap lalu aku akan menjadi pihak pertama yang mengalihkan tatapanku kearah jendela.
Mobil Damar berbelok kearah sebuah mall besar. Pria itu memarkirkan mobilnya lalu menggiringku memasuki mall tersebut. Awalnya aku mengekorinya dari belakang seperti anak itik. Akan tetapi Damar malah merangkul pundakku agar jalan kami sejajar.
Damar membawaku kesebuah bioskop yang ada didalam mall. Membeli tiket yang aku tak tahu kursi sebelah mana. Aku mengerutkan dahi ketika mendapati Damar hanya memesan satu box besar pop corn dengan dua gelas minuman. Sesaat aku tertegun ketika Damar memberikan segelas ice lemon tea dan bukanya cola. Faktanya adalah jika Damar menganggapku Freya maka seharusnya ia memberikan gelas berisi cola kepadaku. Freya sangat menyukai cola, sementara aku biasa saja.
Ketika kami memasuki ruang teater. Aku mulai resah. Pasalnya Damar menggiringku untuk menempati tempat duduk paling belakang. Tempat favorit para muda-mudi yang sengaja tidak ingin kegiatan nganu mereka ketahuan. Aku sedikit kecewa karenanya. Saat ini aku sedang bertukar posisi degan Freya dan Damar sekan sedang mengajakku kencan.
Selama pemutaran film, Damar tidak melepaskan pandanganya padaku. Pria itu sampai menopang dagu dan menatapku berbinar. Jujur saja aku merasa sedikit terluka karena saat ini aku sedang bertukar peran dengan Freya. Mereka memang pernah menjalin kasih. Freya sendiri mengakui bahwa diantara deretan para mantan kekasihnya, Damar adalah lelaki yang ia pacari paling lama. Aku menghela nafas, mencoba membuang segala prasangka buruk didalam kepalaku.
Aku melirik kesamping melalui ekor mataku. Damar masih memandangku dan tersenyum, sementara aku menatap lurus kedepan berusaha keras untuk menghindari kontak mata denganya.
"Ehem! Film-nya ada dilayar bukan diwajahku." Tegurku tanpa menoleh pada pria disampingku.
"Dari tadi tidak sekalipun kau memandangku."
"Ssttt..! Konsentrasi pada film-nya, jangan bercanda."
"Aku ingin lihat sampai kapan kau akan bertahan."
Aku menoleh cepat kearah Damar dan kaget saat tiba-tiba dia menciumku. Bibirnya melumat bibirku seakan ia sedang menumpahkan segala kerinduan yang ada pada dirinya. Pipiku mulai memanas dan sepertinya sudah semerah tomat sekarang. Damar melepaskan ciumanya, memandangku dan tersenyum saat melihatku menunduk dengan ekspresi menyesal.
"I got you, Frei. Aku merindukanmu sayang."
Damar menarik tubuhku kedalam pelukanya. Aku balas memeluknya sama eratnya. Ternyata pria ini tidak menganggapku sebagai Freya. Dia tahu bahwa ini adalah aku, Frei, kekasihnya, gadisnya, pacarnya. Oh! Ya Tuhan! Aku merindukan pria ini. Sangat rindu. Dan dari sinilah akhirnya aku menyerah.
TBC
.
.
.Copyright©080722 By_Vee
KAMU SEDANG MEMBACA
INFATUATION
General FictionDia adalah anomali di dalam kehidupan percintaanku. Begitupula dengan aku yang juga pasti bagaikan anomali dalam kehidupnya. "Freya, apa yang kau lakukan padaku? Sihir apa yang kau gunakan?" -Suga. "Sedikit saran dariku. Jangan terlalu dalam menyuka...