21. Goodbye (2)

9 2 0
                                    

Perihal tawaran Juno, aku tidak banyak berkomentar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perihal tawaran Juno, aku tidak banyak berkomentar. Namun kakakku itu dengan amat perhatianya malah menyiapkan segala keperluan kepindahanku. Butuh waktu untuk mengurus segalanya, dan selama itu aku enggan untuk sekedar menghadiri kelas. Keperluanku di kampus hanya untuk membereskan beberapa hal. Salah satunya adalah mencari-cari Suga karena catatanku tertinggal di unitnya malam itu. Sayangnya setiap kali aku mengirim pesan atau mendial nomornya untuk bertanya perihal buku catatanku, Suga akan bertanya hal lain dan mengabaikan permintaanku.

Kesal dengan sikapnya yang seolah mengulur waktu, aku berniat siang ini langsung mendatangi unitnya. Kecil kemungkinan Suga tidak berada disana mengingat perangainya yang lebih memilih tidur.

Ketika sampai di depan unitnya, pintu tidak langsung terbuka, butuh beberapa kali bel barulah muncul sosok Marisa. Kali ini gadis cantik itu menggunakan mini dress dengan tali spageti motif bunga. Sangat cantik dan melekat pas ditubuh semampainya. Marisa baru saja akan mempersilahkan aku masuk ketika Suga tiba-tiba muncul dari balik tubuh ramping Marisa. Lelaki itu hanya memakai celana training seadanya tanpa atasan. Rambutnya berantakan dengan wajah malas-malasan.

"Aku mau ambil barangku."

"Damar atau Juno yang melarangmu masuk kuliah?" Tanyanya tanpa perduli tujuanku.

"Aku cuma mau ambil barangku yang tertinggal."

"Mereka melarangmu menemuiku?"

Aku menghela nafas lalu sedikit melongok ke dalam dan mendapati Marisa sedang bersila diatas temlat tidur, gadis itu sedang mengamati kami. Karena unit apartemen Suga adalah tipe studio, maka posisi tempat tidurnya akan langsung terlihat apabila pintu unit dibuka.

"Marisa! Lihat barang milikku yang tertinggal kemarin malam tidak?" Teriakku.

Marisa menatapku sungkan dan mengidikan kepalanya ke arah Suga. Aku kembali menegapkan tubuhku dan mendongak menatap Suga yang masih setia bersandar pada kusen pintu tanpa mempersilahkan aku masuk.

"Kembalikan barangku maka aku akan cepat pergi." Kali ini aku menengadahkan tangan kananku dan Suga hanya meliriknya.

"Barang yang mana maksudmu?"

Boleh aku cakar mukanya sebentar? Atau aku cekik lehernya yang terdapat beberapa ruam hasil cupang. Demi Tuhan! Aku ingin cepat pergi.

"Buku catatanku yang ketinggalan Suga!!" Geramku mulai hilang kesabaran.

"Bukan ini?"

Suga mengangkat tanganya, ia sedang memegang kalung yang rasa-rasanya sudah aku buang malam itu. Dia menemukanya? Apa itu artinya malam itu dia menyusul....

"Marisa menemukanya. Katanya dia pernah melihatmu mengenakan ini."

Oke, level kepercayaan diriku baru saja diruntuhkan oleh Suga. Aku dibuat kehabisan kata-kata. Benar-benar muak dan semakin sesak rasanya. Melihatku diam, Suga menarik tanganku dan berusaha meletakan kalung itu ditanganku. Namun dengan cepat pula aku menarik tanganku kembali sebagai bentuk penolakan.

"Aku hanya ingin bukuku. Milikku. Sesuatu yang sudah lepas dariku aku anggap bukan lagi milikku."

"Begitu."

Lalu tidak ada lagi kalimat yang terucap darinya. Suga menyerahkan buku yang aku maksud, lalu aku bergegas pergi setelah mendapatkanya. Namun langkahku terhenti saat kembali mendengar suaranya.

"Ini untuk ibu. Coba tanya ke anaknya nama tokonya, jualnya disana saja nanti pasti dihargai mahal."

Aku melirik Suga yang nampak acuh memberikan kalung itu pada ibu-ibu cleaning service. Disana ada Marisa juga yang nampak menghalangi tindakan Suga. Akan tetapi lelaki itu tampak tidak perduli dan malah berlalu masuk ke dalam unit. Marisa sempat berbicara sesuatu kepada ibu itu sebelum akhirnya si ibu menghampiriku dan menyerahkan kalung itu padaku.

"Ibu tidak tau ada masalah apa, yang ibu bisa lihat adalah kalung ini sama-sama berarti bagi kalian berdua. Disimpan saja ya nak. Kalau hilang nanti menyesal."

Aku hanya mengangguk dan menerima kembali kalung yang sempat aku buang itu.

Aku kembali pulang dengan perasaan tak karuan. Seharusnya aku tidak datang sendiri untuk menemui Suga. Aku bisa meminta bantuan Damar atau Juno untuk sekedar mengambil buku catatanku yang tertinggal di unit Suga. Rasa rindu ini memang sialan, jika bukan karena dia maka aku tidak harus menggunakan buku sebagai alasan.

Taxi online yang aku tumpangi baru saja menurunkanku di halaman rumah. Disana sudah ada Juno dan Damar yang sibuk memasukan beberapa koper ke dalam bagasi mobil. Frei menyambutku dengan pelukan seolah tau bahwa aku dalam keadaan yang kurang baik.

"Frei hanya akan mengurus berkas kepindahanya. Dia ingin melanjutkan kuliah disini." Jelas Juno yang sudah menutup pintu bagasi.

"Alasan yang bagus untuk selalu dekat dengan Damar." Cibirku, dan Frei malah mengangguk semangat.

Tanpa banyak bertanya, baik aku dan yang lainnya mulai menjalankan mobil menuju bandara. Sepanjang jalan aku hanya berdiam diri. Isi kepalaku dipenuhi hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.

Di Bandara, aku berpamitan dengan Damar. Memeluk Juno dengan erat dan lama, berat rasanya harus berjauhan denganya. Isak tangis yang beberapa hari ini tertahan, kini tumpah sudah. Masa bodoh jika orang memandangku aneh karena tengah menangis meraung tak karuan. Juno juga sama eratnya memelukku, mengusap kepalaku dengan sayang, tak hentinya dia mencium pelipisku. Ini juga akan jadi yang pertama baginya berjauhan dariku.

"Baik-baik disana. Liburan nanti aku susul kesana. Belajar yang rajin, jangan pacaran dulu. Terkahir kau pacaran, malah kau pergi jauh begini."

"Kau yang mengirimku pergi!!" Geramku ditengah isak tangis, Juno tertawa saja.

Juno melepaskan belitanku susah payah lalu menatapku lamat-lamat. Ada luka dan penyesalan dalam matanya. Mungkin Juno menyesal karena pernah membujukku untuk menerima Suga.

"Maafkan aku. Harusnya aku tidak membujukmu waktu itu." Ucap Juno penuh sesal.

Aku hanya tersenyum lalu kembali memeluknya.

"Terimakasih. Setiap liburan kau wajib menyusulku. Maka aku akan memaafkanmu."

Juno menyetujui permintaan tanpa bantahan. Dan setelah sesi berpamitan kami selesai, aku dan Freya menuju gerbang keberangkatan, meninggalkan Damar dan Juna. Selama penerbangan, Frei menggenggam tanganku erat mencoba menenangkanku. Ia tau jika berjauhan dengan Juno adalah hal terberat, apalagi setelah mengalami patah hati terberat sepanjang hidupku. Frei bersandar dipundaku dan aku melihat keluar jendela pesawat. Nampak pesawat sudah mulai mengudara. Bangunan-bangunan nampak semakin kerdil dari atas sini. Selamat tinggal kota yang penuh kenangan. Selamat tinggal Suga. Goodbye for you and for every memory.



TBC

.
.
.



Copyright©090922 By_Vee

INFATUATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang