MA

217 14 9
                                    


Gue gabut, jadi apdet. ✌️✌️✌️

.

Jumat pagi menjadi agenda rutin para siswa pelatihan mengikuti jalan sehat mengitari lingkungan balai latihan kerja. Bermodalkan celana longgar dan kaos hitam pendek kesayangan Cantika, perempuan itu tampil menawan dengan rambut kuncir kudanya. Kedua kakinya terbalut sepatu pemberian sang mantan yang masih apik. Sayang untuk dibuang, Cantika memilih untuk tetap memakainya. Bukan karena gagal move on, tapi alasan yang sebenarnya adalah karena sepatu kesayangannya sudah jebol dan belum ada gantinya.

"Sisa belang minggu kemarin aja belum hilang, kok ini mau ditambah lagi, sih?!"

Alice mengeluh soal latihan kedisiplinan yang menjadi materi wajib sebelum lulus dari pelatihan. Jumat lalu, semua siswa diwajibkan untuk dididik oleh seorang anggota TNI. Dijemur selama hampir dua jam, diberi materi baris berbaris, dan diceramahi panjang lebar soal kedisiplinan diri. Sungguh ia berharap jika langit Jakarta mendung dan turun hujan lebat. Alangkah indahnya jika latihan pindah di gedung aula. Setidaknya, wajah dan lengannya akan aman dari sengatan matahari.

Cantika dan Roro yang mengapit perempuan itu hanya ikut memajukan bibir dan mengangguk. Setuju, namun terlalu malas untuk berbicara. Panas matahari pagi terlalu menyengat, membuat dua perempuan itu sibuk menutupi wajah dan lengan.

Melihat itu, Calvin yang berjalan di belakang mereka pun berinisiatif untuk menarik Cantika dan menempatkannya di sisinya agar terlindung dari sinar matahari.

"Ih, Calvin! Lo emang the best!" puji Cantika sambil meraih lengan Calvin. Teman laki-lakinya itu benar-benar pengertian. Selain melindungi dengan badan besarnya, Calvin juga menutupi paparan sinar agar tak langsung menyoroti wajah Cantika.

"Enak, Vin?"

Pertanyaan yang muncul dari bibir Baskoro mendapat anggukan kegirangan dari Calvin. Bahkan laki-laki itu tanpa ragu menunjukkan jempolnya sambil berkata, "Empuk banget, Bas!" yang membuat Cantika langsung melepaskan rangkulannya. Dengan mata mendelik, perempuan itu langsung kembali maju ke depan menyusul Alice dan Roro yang sudah jauh di depan. Dan meninggalkan Calvin yang mencak-mencak pada Baskoro yang sudah merusak momen indahnya pagi itu.

Keringat sisa pembakaran kalori hasil jalan-jalan pagi masih senantiasa mengucur. Kegerahan, lima orang yang tengah menyender pada tembok itu kompak mengeluh sambil mengibas-ibaskan kaos. Berharap keringat segera menguap setelah menyedot bergelas-gelas es kopi yang dibeli di kantin. Calvin bahkan sudah menanggalkan kaos hitamnya, menyisakan kaos putih tipis yang dipakainya sebagai dalaman.

"Andai aja, perut gue nggak offside. Udah pasti gue pamer badan kaya si Calvin."

Baskoro melirik Calvin iri. Tubuh tinggi, badan berisi, dan wajahpun penuh berseri. Tidak seperti dirinya yang tubuh, badan, hingga wajahpun semuanya pas-pasan.

"Untung lo sadar diri ya, Bas. 'Kan kasian mata kita-kita ngeliat punya lo yang bikin sakit mata."

Mendengus, Baskoro menyahuti Alice dengan wajah kesal. "Halah, sekarang lo boleh ngomong gitu. Tapi ati-ati ya, nanti punya laki lo juga paling kaya punya gue gini. Kulit item, badan gede, kepala botak!"

"Babas! Amit-amit..."

"Makanya lo jangan jahat sama gue..."

"Dih, siapa yang jahat?! Orang gue ngomongin fakta, kok! Emang sih, kadang fakta itu menyakitkan..."

"Halah...

Di sela-sela perdebatan antara Alice dan Baskoro, Calvin mengambil kesempatan. Tubuhnya bergeser semakin mendekat pada Cantika. "Cantik," panggilnya pelan yang disahuti malas-malasan oleh si empunya nama. "Sore ini jalan yuk," ajaknya semangat.

OUR STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang