Chapter 10

1 0 0
                                    

Risa menatap Jihan sinis. Entah apa yang mempengaruhi Jihan hingga berani berbohong.

"Lo utang penjelasan sama gue," Desisnya. Bayangkan tidurnya diganggu Jihan hanya karena gadis itu bilang akan meminjam buku. Hell, sejak kapan dia mengerjakan tugas awal? Tapi untungnya juga karena Jihan berjanji akan menuliskannya.

"Dan juga sejak kapan lo deket sama Raja? Wah, parah sih lo. Gak bilang apa-apa sama gue." Bisiknya. Sesekali dia mencuri pandang pada Raja yang memainkan ponselnya.

Jihan nyengir, "Nanti aku jelasin. Aku pamit pulang dulu. Kamu bisa lanjut tidur kamu." Risa menjitak kepala Jihan. Setelah bangun begini mana bisa dia tidur lagi.

"Untung lo sohib gue ye. Sana pulang lo, hati-hati." Risa melambai dan dibalas klakson dari Raja.

Jihan menerka-nerka apakah cowok yang seminggu ini mengintainya adalah Raja atau orang lain. Kalau bukan Raja, berarti dia harus berhati-hati.

"Raja beneran seminggu ini gak ke kompleks rumah aku?" Jihan memastikan sekali lagi.

Raja melihat Jihan dari kaca spion. Wajah gadis itu seperti menanggung beban berat.

Dia menarik tangan Jihan agar memeluk pinggangnya. Jihan mengeratkan pelukannya, hangat.

"Ada yang ikutin lo?" Tanyanya balik.

"..." 

Tangan Jihan bergetar saat memasuki kompleks perumahannya. Cewek itu sempat membatu melihat seseorang di samping pos satpam.

Kepalanya langsung tertoleh ke kanan. Tangannya masih bergetar dan berkeringat.

Raja menyadari gelagat aneh Jihan. Tangannya menggenggam erat tanga Jihan yang berkeringat. Dia melihat dari kaca Jihan terlihat ketakutan.

Apa sebenarnya yang terjadi?
--

Jihan membeli air mineral di kantin sendirian. Risa masih bermain bola voli bersama anak lainnya.

"Dia miskin banget ya sampe treatment aja gak mampu? Gak kasian apa sama wajahnya sendiri, kalo gue jadi dia udah gue lakuin segala cara buat sembuh dari jerawat."

"Mungkin belum ngefek aja,"

"Gue aja jijik liatnya. Apalagi kalau banyak nanahnya ewwhh, pengen muntah gue."

"Sama gue juga. Apalagi dia kayak nggak peka banget kalo kita males liat mukanya,"

"Denger-denger dia sering jalan sama Raja. Idih, Raja kok gak malu ditempeli makhluk jadi-jadian kayak Jihan."

Jihan memeluk dua botol air mineralnya. Menebalkan telinga saat melewati grub penggosip sekolahnya.

Sejauh ini dia memang tidak pernah dibully secara fisik tetapi mentalnya yang mereka serbu habis-habisan. Jihan tidak masalah jika fisiknya yang sakiti, karena mental membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.

Bukannya ke lapangan, kaki Jihan malah berbelok arah ke ruang musik. Badannya bahkan tau dimana tempat yang jarang berpenghuni.

Begitu menutup pintu Jihan langsung jatuh terduduk. Kepalanya ia tenggelamkan di atas lutut. 

"Hikkss, aku juga gak m-mau punya wa-wajah kayak gini."

Ruangan musik penuh dengan suara isakan tangis Jihan. Gadis itu bahkan seseunggukan.

"Mama huhu Ji-Jihan gak sang-gup hikss.."

Tangisan Jihan terdengar pilu. Sudah lama dia tidak menangis sekencang ini. Berharap setelah menangis dirinya mendapat kebahagiaan.

Samar terdengar suara ketukan sepatu. Jihan tidak perduli entah itu orang atau setan, dia hanya ingin menangis hingga puas.

"Gue kira yang nangis kuntilanak," Jihan mendongak. Dia bisa melihat Raja yang berdiri, baju cowok itu berantakan. Seperti habis bangun tidur.

Jihan semakin ingin menangis mendengar perkataan Raja. Apa suaranya mirip kuntilanak? Setelah wajahnya sekarang suaranya yang aneh?

"Eh eh, kok tambah nangis sih?" Raja berjongkok. Dia memegang pundak Jihan.

"Yaa, haa-habisnya kamu hikkss..."

Raja jadi percaya kalau cewek marah dengan cowok ditanya malah jawabnya 'ga' ya gini belum separuh cerita udah nangis kejer.

Tangan Raja mengusap kepala Jihan,  "Udah dong. Semuanya salah gue,"

Jihan masih seseunggukan. Raja yang mengerti Jihan masih ingin menangis memilih duduk. Capek cuy harus jongkok.

"Nangis aja sampe air mata lo kering biar nanti dimasa depan lo gak nangis lagi," Bisiknya.

"Ja, kalau aku berhenti facial treatment menurut kamu wajah aku makin hancur?" Tanya Jihan random.

Raja menggaruk rambutnya. Mana tau dia dengan perawatan cewek begitu?

"Coba dulu sampe beberapa bulan kalau emang gak bisa ya udah berhenti aja. Kasian wajah lo. Ada kok temen gue breakout juga tapi gak ke dokter dia,"

Jihan mengintip dari sela lipatan tangannya. Wajah Raja lucu, dia kayak bingung gitu.

"Raja punya banyak temen ya,"

"Punya banyak. Tapi, tetep aja nggak guna kalau lagi susah gak ada yang bantu."

Jihan mengangguk-angguk.

"Lo habis pake apa emang sampe breakout gitu?" Tanyanya hati-hati, takut Jihan tersinggung.

"Waktu itu penaikan kelas dua SMP, temen aku jualan skincare racikan terus dia nawarin aku. Awalnya gak pengen beli tapi karna dia maksa yaudah..."

Jihan menarik napas dulu lalu berbicara,
"... Pertama make aku seneng aja soalnya bagus gitu di wajah. Tapi, seminggu kemudian mulai muncul jerawat gitu. Wajah aku sampe merah-merah dan gatel. Akhirnya sampe sekarang."

Raja menepuk kepala Jihan dua kali. Cukup kasihan juga. Lagian teman mana sih yang tawarin dia krim abal-abal itu?! Pengen Raja bonyokin.

Jihan ikut duduk dan bersandar di pintu jadi Raja bisa leluasa melihat wajah Jihan. Cewek itu berjerawat saja cantik. Yang bilang Jihan jelek mana sini pengen ditabok Raja.

Bisa Raja liat wajah Jihan sudah agak mendingan dari awal mereka bertemu, mungkin sekitar sebulan lebih? Sekali dua kali perawatan mungkin wajahnya bakal mulus lagi.

Saat ingin mengatakannya Raja menahan diri. Dia takut Jihan semakin tersinggung atau malah berpikir dia hanya berusaha menenangkan.

"Balik kelas yuk Ja, kamu bolos 'kan?" Jihan bangkit dari duduknya.

Raja nyengir, "Pelajarannya mudah banget. Gue 'kan jadi pengen sombong," Katanya sambil menyugar rambut.

Jihan tertawa pelan, "Makasih ya."

"Makasih doang nih? Traktir gue kek,"

"Kapan pun kamu mau," Jihan tersenyum.

'Ya Allah jantung gue. Kalau memang gue sakit jantung hilang 'kan ya Allah masih pengen melihat senyum indah Jihan lagi. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?'

***





Splendor KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang