Chapter 14

5 0 0
                                    

"Raja kok kesini?" Jihan terbelalak kaget saat Raja duduk di sampingnya.

Raja menaikkan alisnya satu, "Kenapa? Gak boleh?"

Jihan gelagapan, "Bukan gitu. Maksudnya Raja kenapa kesini?"

"Gue mau makan," Ucapnya santai. Cowok itu bahkan tidak perduli dengan bisikan-bisikan orang yang membicarakan dia.

"Raja tadi makan bareng Dika. Kok pindah kesini?" Dia masih keukeuh dengan pertanyaannya.

"Kenapa lo gak suka?" Raja melirik Jihan yang menunduk sambil memakan siomaynya.

Jihan menggeleng, "Raja aneh. Akhir-akhir suka banget berkeliaran di sekitar Jihan."

"Kenapa? Masalah buat lo?" Nyolotnya.

Tentu saja masalah. Itu kata hati Jihan, tidak mungkin dia bilang langsung pada Raja.

"Aku udah selesai makan, ke kelas dulu ya Ja." Jihan meninggalkan Raja yang memakan baksonya bulat-bulat.

Kesal! Raja kesal pada Jihan!

--

Jihan menggendong tasnya. Melewati koridor yang cukup ramai. Coba saja ada Risa mungkin dia tidak bakal takut-takut begini.

Gadis itu memilih berjalan di dekat tembok. Meminimalisir tidak bersentuhan dengan orang lain.

"Eh?" Jihan menoleh pada pemilik tangan yang menggenggam tangannya.

"Bawa motor?" Si pemilik tangan tetap melakukan aksinya. Dia bahkan menautkan jari-jemari yang sangat beda ukuran.

Tangan Jihan menggeliat risih, ingin melepas tautannya.

"Bawa motor apa nggak?"

"Raja lepasin ih! Diliat orang, malu." Jihan mencubit tangan yang menggenggam jarinya.

"Males,"

"Kamu kenapa sih Ja! Aneh banget tau!" Kesalnya.

Raja tidak menjawab kebingungan Jihan.

"Rajaa, orang-orang pada ngeliatin." Jihan risih dilihat seperti dia habis melakukan aktifitas memalukan. Raja mungkin terbiasa karena sering jadi pusat perhatian namun dia tidak.

"Terus? Gue harus bilang wow gitu?" Ucapan Raja makin menjengkelkan.

Mata Jihan berkaca-kaca. Raja tidak mengerti rasanya jadi bahan perhatian karena hal aneh. Raja itu sempurna, mereka memperhatikan Raja karena kagum. Tapi Jihan? Dia diperhatikan karena dirinya yang aneh dan buruk rupa.  Dia tidak masalah jika Raja melakukannya hanya saat mereka berdua asal jangan di tempat umum. Dirinya malu.

Susah payah dia membangun kepercayaan diri, begitu dekat Raja kepercayaan dirinya runtuh begitu saja.

"Jihan benci Raja," Setelah mengatakan itu Jihan berlari kencang meninggalkan Raja yang mematung.

Jihan menangis di dalam taksi. Dirinya pun heran kenapa bisa secengeng ini.

"Tisu mbak," Driver menyodorkan tisu pada Jihan.

Jihan menyusut ingusnya.
"Kok aa-aku bilang gitu sama Raja." Sesalnya.

Dasar Jihan. Dia yang lakukan dia pula yang menyesal sendiri. Penyesalan memang datangnya terakhir kalau diawal itu namanya pendaftaran.

Supir taksi melihat Jihan dari kaca tengah,  "Mbak lagi patah hati?"

Jihan menggeleng.

"Ini mbak mau kemana?"

"Ke pantai terdekat aja Mas,"

Mobil hening. Jihan sudah berhenti menangis, dia hanya melihat jalanan dari balik jendela.

Sebenarnya sudah berhari-hari Jihan kesal dengan sikap seenaknya Raja. Cowok itu sering tiba-tiba muncul lalu tiba-tiba pergi. Raja juga sering membawakan dia makanan tanpa dia minta. Menemaninya ke mini market yang jaraknya hanya berapa kilometer.

Jihan tau sikap itu. Tapi, lagi-lagi dirinya menyangkal. Tidak boleh, dia tidak pantas untuk siapa pun.

Seberapa keras Raja mendekat lebih keras lagi Jihan menjauh. Kepercayaan dirinya sudah mencapai 0,00001. Benar-benar sangat di bawah.

Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Jihan Indah Sari. Wajahnya pun biasa saja,  belum lagi sikapnya yang aneh. Sering ketakutan sendiri jika berada di tempat umum. Karena sering mendapat cibiran dia selalu takut berada di tempat umum.

Jihan tidak pantas untuk Raja. Lelaki itu berhak mendapatkan yang lebih darinya.

"Mbak sudah sampai," Jihan membayar argo lalu turun.

Dia membayar uang masuk. Pantai begitu sepi karena weekdays dan sudah sore.

Melepas sepatu, kakinya menyapa halusnya pasir pantai. Tenang.
Jiwa Jihan seperti terobati.

Badan Jihan bersandar pada pohon. Dia biarkan roknya terkotori pasir. Bahkan hingga fajar mulai kembali ke peraduan, Jihan tidak bergerak dari tempatnya.

Dipotretnya matahari yang hampir terbenam dan mempostingnya di Ig.

Mungkin nanti melihat sunset akan menjadi hobinya.

_risssaaa

|Lo dimana anjir, kak revino nelpon gue cari lo.
|Jihan jgn nyari mslh lo
|Kak Vino khawatir banget sama lo. Angkat telponnya.
|Heh, jangan cuma dibaca. Tangan lo udah gak berfungsi buat bales?

Seen

Jihan beralih pada aplikasi berwarna hijau. Dia tidak mengangkat telpon Revino tetapi mengirim pesan.

Dia mengatakan bahwa baik-baik saja dan akan menghubungi kalau akan pulang.

Entahlah, disaat seperti ini menyendiri lebih nyaman.

***











Splendor KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang