Chapter 8

1 0 0
                                    

Suasana ruangan berwarna hitam-abu begitu berisik karena berbagai aktifitas di dalamnya.

Di tembok tempat meja billiard berada tergambar ikan hiu yang menampakkan gigi taringnya. Beserta tulisan Shark berfont besar.

"Weh, Si Raja senyum-senyum ndiri. Nonton bokep lo ya," Andika berusaha mengintip isi ponsel Raja.

Raja menlock ponselnya lalu mendorong Andika menjauh.

"Jangan kepo deh Ka, mending sini sparing sama gue." Cowok bertatto mengajak Andika.

"Skip Bang. Gak mau gue babak belur,"

Penghuni basecamp menyoraki kecupuan Andika. Lelaki itu hanya sedikit trauma setelah berkelahi dengan Mario dan berakhir dirinya dirawat di rumah sakit.

"Maju Lo Thar. Gue ogah,"

"Udah, gue langsung bad mood liat kalian saling nunjuk-nunjuk." Mario duduk di samping Raja.

"Ja, lo gak ada niatan ukir tatto?"

"Gue sebenarnya ada tatto kecil di pundak, inginnya nambah lagi tapi Mami gak bolehin."

Mario tertawa, "Anak penurut banget ya lo."

"Kalau gak nurut bisa dibanned gue dari muka bumi."

"Gue kira lo bakal takut fasilitasnya dicabut," Timpal cowok berambut keriting.

Raja membuka kulit kacang dan memakannya sambil menggeleng.

"Tanpa fasilitas dari orang tua gue bisa hidup. Tabungan gue lumayan banyak, tapi orang tua lebih penting sih."

"Lumayan menurut Raja beda lho ya dengan menurut kita-kita." Lelaki bertubuh tambun menimpali percakapan mereka.

Beberapa orang yang menyapanya dengan sebutan Bang Ganas.

"Gak lah,"

Mario menepuk bahu Raja, "Gak usah sok ngerendah lo. Gak cocok sama muka hedon lo," Ejeknya.

Raja mendengus. Perkumpulan mereka memang tidak semua bersal dari keluarga berada. Kebanyakan mereka malah berada di kalangan bawah. Tapi, berteman memandang status terlalu norak menurut Raja.

"Gue jadi kepengen liat wajah Mami lo, pasti cantik banget ya." Celetuk Firza. Anggota termuda diantara mereka tetapi memutuskan putus sekolah demi membantu Ibunya berjualan.

"Cantik lah, lo gak liat anaknya begini? Nanti deh kalau kalian ada waktu bisa main ke rumah gue."

"Wih, mantap tuh. Gue jadi gak sabar liat rumah lo."

"Bukan rumah tapi mansion," Ralat Andika.

"Bukan mansion tapi istana." Tambah Sapta

"Rumah gue kayak rumah biasa. Berlebihan lo pada!" Kesalnya.

Senyumnya terukir, rasanya pas sekali. Dia seperti menemukan rumah kedua. Kehidupannya di Manhattan memang sangat glamour tapi entah kenapa disini dia bisa lebih bahagia.

Karena mereka berteman tanpa melihat status apalagi materi.

--

Jihan keluar dari rumahnya menggunakan piyama tidur. Dia menyusuri jalan menuju swayalan yang berada di depan kompleksnya.

Dia terpaksa ke swalayan untuk membeli pembalut, sebenarnya ia bisa menyuruh orang rumah tapi rasa tidak enak menyelimutinya.

Biasanya dia menyetok persediaan tapi sepertinya kelupaan pembalut.

Diiringi lari kecil dia sampai di depan mini market dengan selamat. Meski terang kompleksnya begitu sepi, apalagi sudah menginjak pukul setengah sepuluh.

Jihan mengambil beberapa pembalut yang  ukuran paling besar. Mungkin setelah ini dia akan menggunakan pembalut yang bisa dicuci. Tapi, repot nyucinya lagi. Belum lagi belinya pasti harus banyak banget jadi ketika satunya dijemur masih ada lagi.

Dia juga mengambil beberapa bungkus mie korea. Terkadang lehernya lebih dominan hingga dia tidak bisa apa-apa ketika pengen makan yang tidak dibolehkan oleh dokter.

"Jumlahnya dua ratus tiga puluh enam ribu sembilan ratus, mau pake goodie bag atau plastik aja mbak?"

"Goodie bag aja,"

"Jadi nambah sembilan ribu ya Mbak. Terimakasih,"

"Sama-sama,"

Jihan menyeruput susu cokelat yang sempat dia ambil. Dia penyuka cokelat garis kerad.

Saat hendak menyebrang jalan dia sempat melihat segerombolan pria yang jalan sempoyongan. Matanya melirik ke pos jaga satpam depan gerbang kompleks. Sepertinya masih ada.

Dia masih berdiri di depan mini market. Mengumpulkan niat untuk menyebrang, kalau dia lari kencang dia bakalan tidak dapat para pemabuk itu. Mereka agak jauh dari dari gerbang, orang yang mabuk 'kan sulit berlari.

Jihan berjalan lebih ke kiri agar saat berlari dia tepat di depan gerbang. Tak perlu lagi dia berlari miring.

1... 2... 3

Pada hitungan ketiga Jihan berlari menyebrang jalan. Untungnya dia tidak disadari oleh pemabuk-pemabuk itu. Dia melompati palangan besi.

Dia mengintip pada pos satpam. Bapak penjaganya tertidur lelap. Jihan jadi kasian, dia meletakkan sekotak susu dan keripik kesukaannya.

Kepalanya sontak menoleh pada mini market yang masih terang benderang. Di bawah lampu Jihan bisa lihat lelaki tinggi berdiri sambil merokok.

Badannya mirip dengan badan Raja. Atau mungkin hanya mirip?

Lelaki itu menatapnya intens, itu Raja ya? Mungkin besok dia akan bertanya pada Raja.

Jihan berbalik lalu kembali berlari kencang.

***










Splendor KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang