BAB 3

0 0 0
                                    

Setiap kejadian adalah petunjuk.

Setiap kejadian adalah perisai.

Setiap kejadian adalah perangkap.

Tergantung kau yang harus memilah;

Hendak menjadikan tiap kejadian itu sebagai apa.

-

Ucapan Fleur tidak dapat membuatku tenang begitu saja. Aku justru sangat penasaran terhadap segala hal yang berkaitan dengan monster gevaudan. Maka dari itu, aku putuskan untuk mencari tahu sendiri. Aku telah bertanya kepada Baldwin mengenai kakek Gustaff. Ia pun memberitahuku bahwa kakek Gustaff meninggalkan sepucuk surat untukku. Akan tetapi, Baldwin sendiri lupa menaruhnya, sebab surat itu diberikan bertahun-tahun yang lalu sedangkan Baldwin sendiri merupakan salah satu orang yang teledor.

Aku berjalan menuju gudang di belakang rumah, diikuti oleh Baldwin dan Fleur. Kubuka pintu gudang yang dipenuhi dengan debu. Pintu ini benar-benar usang sehingga aku harus menggunakan lebih banyak tenaga untuk mendorongnya agar dapat terbuka.

Selepas terbuka, tampak begitu banyak makhluk tak kasat mata memenuhi setiap sudut gudang. Ada yang terlihat begitu menjijikkan -mengenakan baju kekaisaran yang penuh bercak darah dan bau menyengat, ada yang berdiri memegang kepala laiknya sehabis dipenggal, ada juga yang duduk dengan tatapan kosong di kursi goyang sembari memainkan rambut kusutnya.

"Uh, menjijikkan sekali," batinku. "Fleur, tolong bantu usir mereka agar tidak terganggu dengan kehadiran kita," lanjutku meminta tolong pada Fleur.

Akhirnya, tepat sebelum kami masuk, Fleur memberikan isyarat pada mereka. Entah isyarat apa yang diberikan oleh Fleur, aku pun tak paham. Jelasnya, aku tidak ingin mereka terganggu dengan adanya kehadiranku yang betujuan untuk mengacak-acak gudang.

"Ada apa?" tanya Baldwin heran.

"Ada sesuatu yang harus dibereskan terlebih dahulu sebelum kita masuk," jawabku.

"Dunia gaib?" tanyanya kembali.

Aku tak banyak bicara jika membahas dunia gaib dengan Baldwin. Aku hanya menjawabnya dengan mengangguk. Baldwin pun paham.

Setelah Fleur menyelesaikan tugasnya, ia menyuruhku masuk. Aku pun melangkahkan kaki dan mulai mencari -Bladwin mengikuti.

"Permisi," ucapku bersamaan dengan Baldwin untuk meminta izin kepada hal yang tak terlihat. Dimanapun kami berada, kami selalu mengangkat norma kesopanan sekalipun kepada hal tak kasat mata sebab kami paham betul bahwa mereka selalu hidup berdampingan dengan kami -para manusia.

Kami bertiga mulai mencari keberadaan surat itu, berharap kami dapat menemukannya. Sungguh aku sangat bingung untuk memulai dari mana. Terlalu banyak barang bertumpukan, mulai dari kertas-kertas usang yang berceceran, kaleng-kaleng bekas, tumpukan kardus, juga sepeda usang yang mungkin usianya sudah puluhan tahun lebih.

Aku membongkar beberapa tumpukan kertas, melihat isi tiap-tiap kertas dengan detail. Satu per satu telah tersingkirkan. Dalam sekian menit belum juga salah satu dari kami menemukannya.

"Zutta," ucap Baldwin tiba-tiba.

Reflek, aku menoleh ke arah Baldwin. "Kau menemukannya?" lanjutku.

"Kursi itu bergerak sendiri. Apakah disana ada..." Bladwin memotong perkataannya sambil menunjuk kursi goyang tak jauh di depannya.

"Hm, ku kira kau menemukan surat itu, Baldwin," ucapku sedikit kecewa. "Iya disana ada yang menempati. Jika kau tak berani, jangan mendekat," jelasku kembali. Baldwin hanya membalasku dengan ulasan senyumnya.

Departement de La Lozere [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang