BAB 1

1 0 0
                                    

Beberapa logika mungkin  memang tidak menerima.

Namun, kepercayaanmu pada tiap kenyataan telah bersemayam di lubuk hati yang terdalam.

Jiwamu hanya harus memilih, hendak menjatuhkan keputusan kepada siapa.

-

            “Zutta? Kau baik-baik saja?” suara Baldwin –kakak laki-lakiku, terdengar begitu khawatir.

            “Apa yang terjadi?” tanyaku sembari memegang kepala dan mencoba mengingat.

            “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu tadi malam. Hanya saja aku menemukanmu tak sadarkan diri di depan pintu kamar. Kau tidak mengingat sesuatu?”

            Pertanyaan Baldwin membuat kepalaku bertambah pusing. Aku mencoba bangun dari sikap tidurku –Baldwin membantu, dan mencoba mengingat segala hal yang telah terjadi. Sialnya, aku tak mengingat banyak hal.

            “Tadi malam aku bermimpi buruk dan bertemu kakek Gustaff tetapi aku tidak ingat selepasnya,” jelasku pada Baldwin.

            “Kakek Gustaff? Bagaimana bisa? Kakek sudah tiada, Zutta. Apa kau rindu? Sampai-sampai kau bermimpi bertemu kakek?” tanya Baldwin tak percaya. Aku terdiam mendengar perkataan Baldwin. “Ya, sudah, tidak perlu memaksakan diri. Tenangkan dirimu dan segera makanlah. Kau harus membantuku menggembala para domba,” ujar Baldwin kemudian.

            Aku berusaha tak mempedulikan apapun yang telah terjadi. Toh, aku tidak dapat mengingat detail kejadian yang menimpaku semalam. Aku beranjak dari tempat tidur mengikuti langkah kaki Baldwin menuju meja makan. Tampak Fleur yang tetiba muncul menyamai langkah kakiku. Aku hanya menggeleng tak mengerti maksud Fleur yang selalu saja menirukan seluruh tingkahku selama ini. Makhluk tak kasat mata memang aneh-aneh saja tingkahnya.

            Fleur berlari mendahuluiku menuju meja makan. Ia tampak menarik kursi dan memberikan isyarat agar aku duduk di kursi tersebut.

            “Heh? Siapa?” sontak Baldwin terkejut melihatnya.

            “Fleur, Baldwin, tak perlu risau,” ucapku menenangkan sembari melemparkan senyuman kecil terhadap kakak laki-lakiku itu.

            Baldwin memang tidak dapat melihat makhluk tak kasat mata sepertiku. Entah mengapa kakekku hanya memberikan kemampuan supranatural ini terhadapku. Seringkali hidupku dibuat kacau akibat ulah makhluk tak kasat mata itu. Namun, aku selalu berusaha untuk membuat segalanya baik-baik saja agar kakakku satu-satunya –Baldwin, tidak merasa cemas. Pun, agar aku tidak dianggap aneh oleh orang-orang disekitarku.

            “Fleur, apa kau tahu sesuatu mengenai kejadian tadi malam?” tanyaku sembari menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh Baldwin.

            “Nah, aku tidak mengingat apapun, Zutta. Aku juga pingsan sewaktu ingin menyelamatkanmu di sela-sela terpaan angin kencang itu. Kupikir itu semua mimpi. Namun, ternyata pagi ini aku menyadari bahwa tanganku tersayat,” Fleur menjelaskan sambil menunjukkan luka tangannya.

            Baldwin menatapku, mengernyitkan alis pertanda menanyakan apa yang sedang aku bicarakan dengan Fleur. Kupasang telunjuk kananku berdiri di depan mulut dan hidung mengisyaratkan agar Baldwin tetap diam.

            “Luka goresan? Seperti goresan kuku. Tapi apa?” tanyaku.

            “Apa ini adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu, Zutta?” Fleur menambahkan.

Departement de La Lozere [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang