BAB 18

3 0 0
                                    

Keadilan dalam kehidupan manusia telah menjadi garis takdir-Nya.

Yang pasti, ketamakan dan nafsu tidak akan menjadikan manusia berakhir baik.

-

"Kau cepat sekali kembali, Arthur," ucapku ketika kami berjalan menuju kursi tamu selepas membereskan masalah vas pecah sebelumnya.

"Memangnya tidak boleh? Aku tidak bisa berlama-lama jauh darimu sebab aku pasti akan merindukanmu, hahaha." Arthur kembali bergurau.

Aku tertawa mendengar perkataannya itu. "Oh, iya, kau membawakan makanan apa untukku? Aku sangat penasaran," lanjutku sambil menyenggol lengan Arthur.

"Makanan?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya. Kau sendiri yang bilang bahwa kau akan mencarikan hidangan untukku," balasku.

"Oh, itu. Mm, maaf, aku tidak bisa membawakannya untukmu hari ini karna tadi ketika aku mencari, ternyata buah itu sudah habis sebab pohonnya tidak berbuah."

"Ooh, begitu. Tidak apa-apa, kok. Makanya tidak perlu repot-repot kubilang tadi, bukan?"

Arthur hanya menatapku sambil tersenyum. Kuputuskan untuk mendahului langkah kaki Arthur dan duduk di kursi tamu serta menikmati segelas teh yang sebelumnya telah Arthur hidangkan.

"Arthur, sekali lagi maafkan aku, ya, aku sudah lancang memasuki ruangan itu," ucapku kembali ketika aku telah duduk sebab aku benar-benar menyesali perbuatanku dan merasa tidak enak hati terhadap Arthur.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Kau bebas melihat sudut mana saja di rumah ini," balas Arthur sambil tersenyum lalu menyeruput segelas teh miliknya.

Aku tersenyum balik terhadap Arthur karena Arthur sangat baik. "Terima kasih, Arthur," ucapku kemudian.

Arthur mengangguk. Kami pun terdiam beberapa saat selepasnya. Diam-diam aku memperhatikan Arthur yang sedari tadi juga terdiam menatapku.

"Mengapa kau memandangku seperti itu?" tanyaku terhadapnya.

Arthur menggeleng. "Tidak, tidak apa-apa," ucapnya.

"Kau terlihat aneh hari ini, Arthur," balasku.

Arthur terdiam dan masih memandangku dengan tatapannya itu.

"Jangan menatapku seperti itu, Arthur. Aku malu," keluhku sambil tersenyum dan tersipu malu.

"Kau cantik, Zutta." Ucapan Arthur membuat tak berkutik dan membuatku lebih tak berani untuk menatapnya.

Tiba-tiba Arthur berdiri dan berjalan mendekatiku. Kuputuskan untuk memperhatikan gerak-geriknya. Aku sedikit mendongak menatap wajahnya ketika ia tepat berdiri di sampingku yang masih duduk di kursi. Arthur menggerakkan tangannya dan seketika ia memegang tanganku. Aku terdiam tak mengatakan sepatah katapun.

"Bisakah kau berdiri?" tanya Arthur dengan seakan menarik tanganku untuk membantu berdiri.

Tanpa memikirkan apapun aku memutuskan untuk berdiri mengikuti permintaan Arthur. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuat wajahku harus tetap sedikit mendongak menatapnya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya ingin memandangmu lebih dekat." Lagi-lagi ucapan Arthur membuatku terdiam dan kali ini disertai dengan degup jantung yang seakan menggebu. Entah rasa apa yang membuat jantungku berdegup tak beraturan seperti ini. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku saat ini. Yang pasti, aku sangat nyaman tenggelam dalam tatapan mata Arthur yang teduh ini. Bahkan, kuakui bahwa di hari-hari sebelumnya aku juga merasa sangat nyaman ketika bersama dengan Arthur. Arthur tidak pernah membuatku gelisah sedikitpun.

Departement de La Lozere [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang