Bertemu untuk berpisah.
Berpisah untuk bertemu.
Ya, hidup memang seadil itu.
-
Hawa dingin meliputi sekujur tubuhku. Kedua kakiku terus berjalan menelusuri kegelapan. Pepohonan lebat tumbuh di sekitarku. Tampak lalu lalang makhluk tak kasat mata memenuhi pandangan mata. Beberapa dari mereka tertawa mengerikan melihatku, padahal tidak ada yang lucu, ada yang menatap dengan tatapan yang menakutkan, ada yang berjalan kesana kemari, ada juga sesosok makhluk besar hitam bermata merah yang hanya berdiri di dekat sebuah pohon besar, sepertinya ia adalah salah satu penunggu pohon itu. Aku tidak berani menatapnya. Yang pasti, saat ini aku hanya berjalan dan menatap ke depan, melangkah maju melewati hutan bekas jalan setapak.
Baldwin dan Fleur berjalan di samping kanan dan kiriku. Kami berjalan beriringan dan masing-masing menggendong tas punggung, kecuali Fleur. Kukenakan jaket berbulu yang cukup tebal, Baldwin pun sama.
"Ya ampun, mengapa kau mengajak berangkat di jam segini, Zutta, arrghh. Ini masih pukul lima pagi," ucap Baldwin mengelus-elus lengannya sebab kedinginan.
"Aku hanya ingin cepat sampai agar kia bisa pulang lebih awal. Takutnya, kita nanti akan tersesat sebab aku tak mengerti arah dengan cermat. Kita bisa menggunakan matahari sebagai petunjuk," jelasku.
"Lalu, kita akan berjalan lurus sampai kapan? Keadaan masih cukup gelap," ucap Baldwin.
"Nanti aku akan beri tahu. Kita juga akan tetap menggunakan senter sampai hari benar-benar siang," jawabku sambil menunjukkan senter yang aku pegang di tangan kananku.
"Hm."
Aku, Fleur, dan Baldwin masih terus berjalan dalam rentang waktu beberapa menit hingga langit mulai memancarkan pantulan cahaya matahari dan membentuk siluet yang indah. Ketika keadaan sudah tidak terlalu gelap, aku mematikan senter dan memasukkannya ke dalam tas. Sesekali kami berhenti untuk istirahat sejenak, menikmati sebotol minuman yang kami bawa masing-masing, juga melihat-lihat alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan ini.
"Kau yakin bahwa jalannya lewat sini, Zutta?" tanya Fleur di tengah-tengah perjalanan.
"Iya, sebenarnya aku juga tidak tahu pasti lewat mana. Akan tetapi, aku sangat ingat saat Arthur berjalan bersamaku, matahari pagi berada di sebelah kanan. Jadi kita hanya perlu berjalan ke utara untuk menuju ke sungai itu," jawabku.
Hari semakin siang. Perjalananku masih belum menemui ujung. Aku sudah cukup lelah. Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari sudah bersinar dengan terik.
"Ah, istirahat dulu. Aku lelah," ujarku terhadap Baldwin dan Fleur sambil langsung merebahkan tubuhku tepat di tempatku berdiri saat ini karena aku merasa tidak kuat lagi untuk berjalan.
Dhug! Terdengar suara dari tanah tempatku merebah. Baldwin dan Fleur menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Aku terdiam. Kuputuskan untuk berdiri memastikan apa yang kini aku duduki. Anehnya, yang aku lihat hanyalah tanah berpasir biasa. Aku semakin penasaran sehingga aku memutuskan untuk kembali mendekat dan mengetuk tanah tersebut menggunakan jemari tanganku. Fleur dan Baldwin masih berdiri memperhatikanku.
Dhug, dhug! Suaranya lebih terdengar seperti kayu yang diketuk.
"Bagaimana bisa?" tanya Baldwin sambil mendekatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Departement de La Lozere [END]
Fantasy*Catatan : Jika kalian pernah mendengar potongan kisah mengenai monster gevaudan (La Bete du Gevaudan) yang telah memakan banyak korban di Lozere, Prancis sebelum tahun 1767, maka inilah salah satu cerita di balik segalanya. Bacalah dan tetap berhat...