BAB 7

0 0 0
                                    

Skenario Tuhan memang terkadang tidak sejalan dengan pikiran manusia.

Jadi,tidak perlu memutar otak terlalu dalam.

Cukup jalani saja.

-

"Baiklah, jika itu maumu, kau boleh memiliki gadis ini setelah kau kalah bertarung melawanku," Arthur tampak menantang Kevin. Setidaknya aku merasa lega mengetahui bahwa Arthur peduli terhadapku dan tidak menyerahkanku begitu saja kepada Kevin. Aku mengatur napas dan berusaha untuk tetap terjaga dalam sadar meskipun itu sakit.

"Oh, kau masih berani bertarung melawan sahabatmu ini, ya, hahaha," Kevin tampak meremehkan.

Tak menjawab apapun, Arthur memulai pertarungan diantara keduanya. Mereka bertarung tanpa menggunakan alat bantuan apapun -mengendalikan kekuatan diri mereka masing-masing, sebab yang ku lihat Kevin sudah kehabisan tombak setelah sebelumnya melemparkan pada Arthur dan tidak tepat sasaran. Aku memutuskan untuk memejamkan mata, berharap agar Arthur memenangkan pertarungan.

Beberapa menit berlalu, aku hanya bisa mendengar suara pertarungan keduanya. Tanganku masih memegang luka perut agar darah tidak mengalir keluar dari dalam diriku.

"Aaarghh," suara kesakitan Kevin membuatku memberanikan diri untuk membuka mata. Tepat seperti yang aku duga, Kevin kalah dalam pertarungan. Ia pun berlari menjauh meninggalkanku dan Arthur. Aku bersyukur melihatnya meskipun Arthur juga banyak terluka dan tampak kehabisan energi.

"Ki... kita harus segera pergi dari sini. Kau juga tidak boleh kehilangan kesadaran. Aku akan segera mengobatimu," ucap Arthur terbata-bata sembari mendekatiku. Tampaknya energi yang ia miliki hanya tersisa sedikit. Aku sangat iba melihatnya yang tengah bersimpuh lemas di hadapanku. Sayangnya, aku tak bisa berbuat apapun untuk membantunya. Bahkan, aku lah yang merepotkannya.

Tak lama selepasnya, ketika Arthur telah menggendongku dan masih dalam perjalanan menuju ke suatu tempat, pernapasanku terganggu. Aku mulai sulit untuk bernapas. Kesadaranku pun perlahan memudar. Arthur panik. Ia tetap menenangkanku dan terus mengajakku berbicara -meskipun aku tak mampu menjawabnya, sembari melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat.

***

Samar-samar ku lihat lampu yang menyorot terang ketika perlahan aku mencoba untuk membuka mata. Dengan sisa-sisa energi yang ku miliki, rasa sakit masih saja terasa pada detik-detik awal kesadaranku ini. Arthur tampak melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajahku -meskipun aku hanya bisa melihatnya dengan penglihatan yang masih kabur. Ia mencoba untuk memastikan bahwa aku sadar secara utuh.

"Hei, kau bisa mendengar suaraku?" telingaku menangkap suara bariton Arthur. Aku mulai dapat melihat dengan jelas.

"Aduh, sakit," ucapku sembari memegang perut bagian kananku yang terluka.

"Jangan menekan perutmu terus-menerus. Tenanglah, aku sudah mengobatinya. Aku yakin kau pasti akan segera sembuh," Arthur mengucap dengan ketenangannya. Tak perlu waktu lama untuk berpikir, aku melepaskan kedua tanganku menjauhi luka di perutku -menuruti apa kata Arthur.

"Terima kasih, Arthur," ujarku spontanitas. "Aku memang tidak mengenalmu dan kau pun tak mengenalku. Akan tetapi, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku sangat berterima kasih untuk itu," lanjutku.

"Iya, tidak apa-apa. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang laki-laki yang baik. Tidak mungkin juga, kan, jika aku meninggalkan seorang wanita sendirian. Bahkan, kau tidak mengerti tempat apa yang kau datangi dan bagaimana situasi di luar pengertianmu, bukan? Aku tidak sejahat itu akan meninggalkanmu sendirian," jelas Arthur sambil menyeruput secangkir minuman yang masih tampak kepulan asapnya.

Departement de La Lozere [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang