•
•
•Rasa kantuk segera menyerang sesaat setelah ia berhasil menutup layar persegi di hadapannya. Jemari mungil itu tergerak mengangkat gelas berisi cairan pekat di samping laptop untuk menghabiskan bulir terakhir sebelum beranjak menuju pulau impiannya menjemput cerita seru di antara alam bawah sadar.
"Masih berangan jiwa seseorang dapat bereinkarnasi, Aye kecil?" celutukan penuh ejekan itu seakan menggema di tengah malam namun jelas saja hanya dianggap angin lalu olehnya.
"Mau mati, Yura? Ini sudah larut malam tidaklah baik seorang pria masuk tanpa izin ke kamar anak gadis." sahutnya masih tak tertarik seraya menyimpan benda persegi di tangan dan bersiap merajut mimpi di kasur cantik yang sedari tadi terus melambai penuh goda.
"Aye kecil, bagaimana mungkin seorang psikopat sepertimu mengharapkan kehidupan setelah kematian, eh? Bumi dan Langit tentu saja tidak akan merestui itu. Kau terlalu banyak menjemput dan berlagak seperti Dewi Kematian yang kejam. Apa kau pantas mendapatkan kesempatan bereinkarnasi di masa depan?" kekeh lelaki berparas rupawan itu dengan tatapan yang tak pernah lepas dari gadis mungil di hadapannya kini.
"Diamlah, Yura. Apa kau sudah bosan melihat matahari? Aku memang seorang pembunuh lalu apa bedanya dengan dirimu?" decak gadis yang dikenal dengan nama Aymee itu kesal.
"Bedanya aku tak pernah berharap dihidupkan kembali oleh Dewa." masih dengan nada yang sama Yura memandangnya jenuh.
"Cih, tahu apa kau tentang kehidupan? Jangan berlagak sok tahu akan hidupku di masa depan karena kau jelas tidak tahu seperti apa kebenarannya." kini Aymee benar-benar merebahkan tubuh letihnya setelah hampir seharian penuh berkutat dengan berbagai macam senjata berbahaya juga lengketnya cairan pekat bernama darah.
Yura mendengus menyadari arti tatapan anak itu padanya yang seakan berkata -jangan ikut campur, kau tak tahu apa-apa- membuatnya merasa gerah sendiri.
"Naif sekali, bagaimana jika kita buktikan saja impianmu itu? Apa Langit akan benar-benar merestuimu hidup kembali di masa depan?" kekehnya dengan bengis.
Untuk sesaat Aymee tercenung merasakan perbedaan signifikan yang terpancar menuju tubuhnya. Dengan cepat menyadari dirinya terancam ia berguling ke samping kala sebilah belati tajam melesat tertancap di atas pembaringan empuknya.
"Yura, apa yang kau lakukan?" gertaknya tajam menyadari perubahan dari sosok yang merupakan partner kerjanya itu.
"Menurutmu apa?" balasnya dengan gejolak bara api yang membakar kelereng jernihnya.
Aymee tampak kembali merenung dengan tatapan lekat pada kedua bola mata bersinar bahaya itu. Seketika sensor tanda bahaya berkelip merah di ujung retina. Pemindai khususnya pun seakan menjerit menginfokan bahwa lelaki itu sedang dalam pengaruh rasa dendam yang haus darah. Ini situasi yang tidak baik namun cukup sulit.
"Yura, apa-apaan ini?!" desis gadis itu bersamaan dengan sabetan benda tajam yang terarah padanya menyebabkan ujung baju tidurnya koyak sempurna.
Ah, andai daya refleksnya tak seakurat itu mungkin bukan pakaian itu yang terkoyak namun kulit dan daging di tubuhnya lah yang akan mengalami hal demikian. Untuk beberapa saat itu mampu membuatnya menyergit.
"Matilah kau dasar iblis kecil!" geram Yura yang lagi-lagi menyerang tubuh kecil Aymee dengan membabi buta.
"Hentikan Yura! Apa masalahmu, ha?" jelas Aymee cukup kewalahan sebab walau kemampuannya benar-benar dapat dikatakan sempurna namun itu tetap akan tertandingi oleh lelaki ini.
Ohh, bagaimana tidak bahkan pelatihan mereka adalah sama! Tak ada bedanya dari titik 0 sampai menjadi mesin pembunuh sekarang ini. Kemampuan mereka berada pada level yang sama lalu bagaimana caranya menjadi salah satu sang pemenang? Kecuali keberuntungan dan takdir!
"Masalahku? Kau iblis sial*n! Bagaimana kau bisa tidur di malam hari setelah merebut segalanya dariku, ha?" teriaknya balas dengan nada yang lebih mengerikan membuat Aymee lagi dan lagi tertegun.
"Merebut apa?" tanyanya pelan.
"Kau masih bertanya, Aye kecil? Perhatian Ketua, semua orang, popularitas, bagaimana kau menjelaskan itu?" murka Yura bersamaan dengan rembesan darah yang mulai mengalir perlahan dari perut bagian atas seorang anak kecil perempuan.
"Ugh-" salahkan Aymee yang malah kehilangan fokus di saat seperti ini.
Bahkan tatapannya berubah nyalang memandangi wajah elok penuh murka lelaki yang tega menusuknya kini. Untuk sekian lama hatinya kembali berdenyut sakit bahkan seakan lebih sakit dari luka menganga di perutnya saat ini. Perasaan yang dulu menghilang kini hadir kembali, sakit, pilu, sedih, kecewa, dan segala rasa lainnya perlahan membuncah lalu mulai membombardir sesisi hati kecilnya. Ingin rasanya ia melelehkan tangisan namun ia tak memiliki air mata. Bagai ribuan belati tajam telah menghunus sanubari kala kalimat itu diperdengarkan dan diproses dalam otak pintarnya.
Ohh, bagaimana mungkin seorang yang telah bersama belasan tahun malah menginginkan kematiannya dengan alasan tak masuk akal seperti itu?
"Ba-bagai-mana bisa.. kau mela-kukan ini padaku, Yu-ra? Aku... Semua itu tak pernah ku..rebut darimu.." isaknya pelan namun masih tak ada air mata yang tampak.
"Tidak kau bilang? Bahkan kita telah bekerja bersama, lalu mengapa hanya ada namamu di mata mereka, huh?"
Jleb,
Sekali lagi benda berujung lancip itu menembus kulitnya di tempat yang berbeda walau masih di daerah yang sama.
"Yu-ra, ku pikir.. kau Kakakku?" seteguk darah berhasil gadis itu muntahkan yang sebagiannya juga mampu menodai sepatu mengkilap lelaki itu.
"Cihh, lihat betapa naifnya dirimu, Aye kecil. Di dunia kita ini, tak ada hubungan yang seperti itu, dan kau tahu itu. Di sini kita saling menjatuhkan, siapa yang kuat dia berkuasa. Tak sadarkah kau bahwa itu yang direncanakan organisasi ini?" tawanya penuh kemenangan seakan telah berhasil menjatuhkan satu pion lagi menuju kekuasaan, atau memang ia telah berhasil dalam hal itu mengingat gadis kecil penuh keistimewaan inilah lawan terberatnya selama ini. Namun ia jelas terlalu baik menutupi itu dari salah satu sisi Aymee yang masih menyimpan kepolosan.
"Benar.. Ternyata memang.. selama ini aku... terlalu menutup mata... terhadap bajing*n sepertimu, Yura!" napasnya semakin berat membuat Aymee seketika luruh ke lantai di mana genangan darahnya sendiri mengalir cukup deras dari dua luka yang tercipta kala Yura melepaskan pegangannya.
"Ya, maka dari itu matilah dengan tenang, Aye kecil. Semoga impian terbesarmu dapat terwujud saat ini. Kehidupan baru, cihh.. lucu sekali!"
Dor!
Bersamaan dengan akhir ucapannya letusan senjata api tanpa peredam itu menggema memenuhi ruangan minimalis tempat di mana seorang gadis hidup di dalamnya dan menjadi tempat kematiannya pula.
Tiga luka menganga yang mana terdapat dua pada perut dan satu tepat di mana letak otak pintarnya dikembangkan. Menyebabkan malam itu menjadi malam penuh darah dengan takdir seorang jiwa yang kembali mengelana entah ke mana disertai hujan besar yang tiba-tiba mengguyur tanpa ampun di luar sana seakan ikut meraung sedih mengantarkan jiwa Sang Pengembara ke tempat baru di mana takdir membawanya berlabuh kembali.
⚔⚔⚔
Prologue end,
Next ⬇⬇
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebirt of the Legendary Holy Goddess
FantasíaSang legendaris telah kembali..~ Diceritakan kisah Sang Legenda kembali berjaya dalam periode yang sama namun tubuh berbeda. Kehidupan kembali jiwa yang telah lama menghilang. Bertransmigrasi dalam tubuh yang terdakwa hanya berupa limbah dan sampah...