“Alhamdulillah sudah selesai,” gumam Lana setelah selesai menghabiskan makan siangnya.
Bocah itu turun dari kursi meja makan, kemudian meletakkan piring bekasnya di atas wastafel. Tepat saat Mamanya tengah mencuci piring.
“Taruh di situ saja, biar Mama cuci,” titah Salma, dan Lana pun mengangguk, kemudian mencuci tangan.
Lana hendak kembali ke kamarnya, tapi Alan terlebih dulu masuk ke Ruang Makan. Lelaki berumur lima belas tahun itu membuka tudung saji. “Wiiih enak nih,” celetuknya.
Salma tersenyum, sembari tangannya masih mencuci piring dan gelas. “Enak dong. Makan gih,” titahnya kemudian.
Alan mengangguk. “Oke, Ma.”
Lana tak jadi pergi. Bocah itu kembali duduk di meja makan. Menemani Alan tampaknya bukan suatu yang buruk. Lagi pula Lana tak punya kegiatan lain sekarang.
“Masih di sini?” tanya Alan sambil mengamati Lana. Gadis kecil itu mengangguk. “Mau nemenin Kakak makan,” katanya dengan nada polos.
Alan terkekeh. Adiknya benar-benar lucu.
Sekitar lima belas menit Lana menemani Alan makan. Salma sudah selesai mencuci piring, kemudian pergi mengurus pekerjaan lain. Ketika Alan selesai makan dan membaca doa, Lana bersuara.
“Kak. Jalan-jalan yuk nanti sore. Masak hari Minggu seharian di Rumah?”
Alan melirik Lana sekilas. “Males ah. Lagian enakan di Rumah. Kakak capek, gak ada uang juga.”
Lana menunjukkan ekspresi cemberut. “Gak pa-pa. Gak usah jajan. Jalan-jalan aja naik motor.”
Alan menggeleng pelan. “Gak ada uang buat beli bensin. Lagian Papa juga lagi minta kita buat berhemat.”
Lana masih cemberut. Ia menyangga kepalanya dengan tangan. “Papa pelit ya, gak ngasih uang sekarang.”
“Huss. Gak boleh gitu. Udah syukur bisa makan. Banyak di luar sana yang mau makan aja harus kerja capek-capek,” sahut Alan.
Lana kembali menghela napas. “Emangnya apa susahnya sih ngasih uang? Lana kan pengen jajan,” keluhnya.
“Ya susah lah. Papa berangkat subuh pulang isya’ juga buat siapa? Buat kita. Cari uang tuh susah loh. Gak semudah ketika kamu atau Kakak minta uang ke Papa atau Mama,” tutur Alan menasihati.
Lana membuang napas. “Iya juga sih. Tapi kan....”
“Tapi apa? Lana tahu gak? Allah itu lebih sayang sama hambanya yang menyukai hidup sederhana. Yang gak pernah foya-foya, gak ngehabisin uang seenaknya, yang rajin menabung, sedekah, gak ngeluh kalau lagi kekurangan. Allah sayang loh sama orang kayak mereka,” sela Alan.
Perlahan raut wajah Lana yang semula cemberut, kini tampak berbinar. “Serius bakal disayang Allah?” tanyanya bersemangat. Alan pun mengangguk mengiyakan.
“Oke deh. Lana mau disayang sama Allah. Lana gak mau foya-foya. Lana mau banyakin sedekah,” celoteh Lana.
Alan tersenyum bangga. “Nah gitu dong.”
Lana mengangguk polos. Tapi ia tampak kembali berpikir. “Hm, Lana inget Lana masih punya uang di tabungan.”
“Mau disedekahin?” tanya Alan.
Lana menggeleng. “Mau buat jajan,” jawabnya seraya menunjukkan deretan giginya.
Alan menatap Lana dengan mata menyipit. “Lanaaaaaa!”
Lana mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. “Bercanda Kakaak,” katanya seraya tertawa. []
—🍭—✨—🍭—✨—🍭
Publish : Magelang, 15 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLANA
Short StoryAlan dan Lana itu kakak beradik. Lana yang selalu ingin tahu, dan Alan yang mencoba menjadi panutan tiap waktu. Ada Syarif dan Salma-orang tua mereka-yang ikut andil dengan kata-kata mutiara dan pesan tentang agama di sini. Mungkin kamu ingin membac...