18. Itu Bukan Cinta

11 3 0
                                    

Permen hati dengan warna pelangi berada dalam genggaman tangan anak itu. Dijilatnya permen seharga lima ratusan itu seraya bergumam, "Manis."

Di sampingnya, tampak sosok pemuda yang tengah bermain gawai dengan wajah kesal. "Keras banget sih ini cewek!"

Lana spontan menengok ke samping tatkala gerutuan Alan terdengar. "Kakak kenapa sih?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari gawai Alan menjawab, "Enggak apa-apa."

"Kakak bohong!"

"Beneran!"

"Bohong ih!"

"Beneran kok!"

"Bohong, bohong, bohong! Pasti ada apa-apa! Kata Papa, di dunia ini enggak ada akibat tanpa sebab!"

Alan kalah telak. Adik kecilnya ini benar-benar mewarisi kepintaran bicara dari ayahnya.

"Ah iya itu. Pokoknya ada. Kamu enggak usah tahu, belum cukup umur." Alan beralibi. Lagi pula mana mungkin ia mengatakan kondisinya yang sedang diburu oleh seorang cewek.

"Soal Mbak yang waktu itu ya?" Alan tersentak. Memori adiknya benar-benar kuat ternyata.

"Ah iya, gitu lah." Alan menggaruk pelipisnya. Rasanya ia tidak sedang bicara dengan Lana seperti itu.

"Mbak-nya enggak paham apa arti cinta. Kata Papa, dalam hidup itu kita enggak selalu menang. Kakak enggak suka kan sama Mbak itu? Tapi, Mbak-nya keras kepala! Itu namanya bukan cinta. Kata Papa, dalam cinta itu enggak pernah ada paksaan."

Alan nyaris tak berkedip. Sejak kapan Lana bisa jadi sebijak itu? Ah, ini pasti ulah Papa-nya.

"Lain kali jangan main sama Papa terus ya?"

"Kenapa?"

"Nanti kamu dewasa lebih cepat."

"Ketimbang sama kakak. Nanti jadi bucin lebih cepat."

Dan, bak disambar petir saking kagetnya. Ternyata, selain pandai memberi nasihat, Lana juga mampu membuat Alan terdiam di tempat. []


Magelang, 23 Maret 2021•

ALLANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang