11. Sebuah Tujuan

12 3 0
                                    

Wajah yang mulai tampak keriput itu terlihat mengernyit ketika melihat kertas bertuliskan angka "50" di hadapannya. Syarif mendongak. Ditatapanya sang putra sembari tersenyum tipis. "Kok nilainya cuma segini?" tanyanya dengan nada sabar.

Alan masih menunduk. Ia juga tak tahu kenapa dirinya bisa mendapat nilai serendah itu. Padahal tiap malam ia belajar. Tapi kenapa hasilnya seperti ini?

"Alan. Jawab Papa. Kamu selama ini belajar kan?" Nada bicara Syarif masih terdengar sangat tenang. Walau begitu, Alan masih tak mampu membuka suara. Tatapannya masih fokus tertuju pada lantai.

Syarif menghela napas. "Papa gak akan marah. Papa cuma bingung, kok bisa cuma dapat lima puluh, biasanya juga kamu dapat sembilan puluhan. Kenapa kamu ini? Ada yang sedang dipikirkan?"

Alan masih menunduk. "Maaf Pa." Dan hanya itu yang mampu Alan katakan.

Syarif menggeleng-gelengkan kepalanya. Putranya memang selalu seperti ini dari kecil. Ketika merasa bersalah pasti langsung meminta maaf, walau pada nyatanya Alan tak pernah punya salah.

"Sudahlah, Papa juga gak akan marah. Kamu tenang saja. Papa kan sudah pernah bilang, nilai ujian itu bukan tolak ukur sebuah kesuksesan." Ucapan Syarif akhirnya berhasil membuat Alan mendongak seraya menghela napas lega.

Syarif tersenyum, tatapannya kini tertuju pada putrinya yang tengah menonton TV.

"Lana," panggilnya.

Lana menoleh. "Kenapa Pa?"

Syarif tersenyum. "Nilai ujian kamu gimana?"

Seketika wajah Lana tampak berseri-seri. "Wah, alhamdulillah Pa. Dapat A+," jawab Lana dengan nada bersemengat.

Syarif tersenyum senang. "Alhamdulillah."

"Pa. Maafin Alan. Belum bisa dapat nilai sebagus Lana."

Syarif menoleh. Tatapannya kini kembali pada sang putra. Syarif merasa bingung. Niat awal ia bertanya pada Lana sebenarnya agar Alan merasa termotivasi. Tapi kenapa putranya itu terlihat tak percaya diri sekali sekarang?

Syarif tersenyum. Ia menarik tangan Alan untuk duduk di sampingnya. Syarif mengelus rambut Alan perlahan. Pria itu tersenyum lebar.

"Kamu tahu? Papa dulu di usia muda bukan lelaki yang sebaik kamu," ungkap Syarif memulai percakapan.

"Dulu Papa bukan remaja seperti kamu yang pagi sampai malam kerjaannya belajar. Papa bukan kamu yang dalam hidup punya tujuan menggapai cita-cita. Papa bukan lelaki sebaik kamu waktu masih muda.

"Papa dulu lebih sering main-main. Bahkan nilai raport, ujian, dan belajar pun gak pernah Papa pedulikan. Hidup Papa waktu remaja cuma soal dunia, dunia, dan dunia. Papa bukan lelaki seperti kamu yang tiap hari selalu bertemu buku dan ilmu."

Alan tak bisa berkomentar. Ia hanya mampu mendengarkan apa saja yang ayahnya itu katakan. Sementara Syarif kembali berujar.

"Lan, kamu itu mulia. Hidup kamu punya tujuan. Kamu punya impian. Nilai kamu yang rendah bukanlah alasan agar kamu minder. Semakin kamu gagal dalam suatu hal, harusnya semakin besar pula ambisi yang kamu punya. Nilai kamu sekarang lima puluh kan? Baiklah, sekarang kamu harusnya punya ambisi. Ulangan depan, kamu harus dapat seratus. Itu yang namanya tujuan."

Syarif mengakhiri kata-kata nasihatnya dengan senyum dan tepukan pada bahu Alan. Kemudian pria itu beranjak pergi, sengaja meninggalkan Alan sendiri, agar putranya itu bisa memahami kata-kata yang ia berikan.

Sementara di sofa yang ia tepati, Alan terdiam. Ia mencoba mengingat apa yang tadi Syarif katakan.

Ketika Alan mengingat kata-kata itu, senyuman tipis di wajahnya terlihat.

Benar kata Papanya.

Dalam hidup dan dalam kegagalan, manusia haruslah mempunyai tujuan. []

—🍭—✨—🍭—✨—🍭

Publish : Magelang, 15 Januari 2021

ALLANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang