"Aku telepon mama ya biar temenin kamu di rumah," bujuk Ryan pelan.
Terdengar helaan napas panjang Jihan dari sebrang sana. [Aku maunya kamu yang di sini, kamu bilang pengin ngobrol panjang lebar tapi malah-]
"Kamu tahu aku ada kerjaan mendadak, Ji," tukas Ryan. Lantas, ia menjauhkan ponselnya sejenak dari telinganya. Setelah mengusap wajahnya gusar, Ryan kembali bersuara, "cuma malam ini kamu tidur sendiri dulu. Besok pagi aku udah pulang."
[Aku takut Ryan, kamu tahu itu.] Suara Jihan terdengar begitu lirih menyentil sudut hati Ryan.
"Aku minta ibu buat temani kamu, ya?" bujuk Ryan kembali.
Cukup lama tidak ada sahutan sampai akhirnya Jihan menjawab, [enggak usah.]
Sambungan diputus secara sepihak oleh Jihan. Ryan berusaha menghubungi kembali istrinya, namun tidak diangkat sehingga ia memilih menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
Menghela napas beberapa kali, Ryan membuka pintu rawat inap yang baru ia tinggalkan beberapa menit yang lalu, saat Jihan menelepon."Kalau kamu ada urusan yang lebih penting, kamu boleh kok pergi. Aku nggak apa-apa sendiri di sini."
Ryan menggeleng, dan menghampiri Ariska yang tengah terbaring di brankar. "Apa kata dokter?"
Sebelum menjawab, Ariska membenarkan posisi tidurnya dan berdeham, "cuma masalah pencernaan. Besok juga udah boleh pulang."
Ryan mengangguk paham, namun pikirannya melayang pada Jihan. Sedari dulu, Jihan memang tidak pernah mau ditinggalkan sendiri saat malam. Dan malam ini, Ryan malah meninggalkannya sendiri demi Ariska. Mau bagaimana lagi, Ryan juga panik saat mendengar isakkan Ariska di telepon sampai tidak bisa berpikir jernih dan meninggalkan Jihan sendirian.
Penyesalan ada, tapi Ryan juga tidak tega meninggalkan Ariska yang tengah sakit ini.
"Ryan." Panggilan Ariska menyadarkan Ryan dari lamunan. Ryan berdeham, lantas Ariska menuntun tangan Ryan ke arah perutnya. "Usapin perutku sampai aku tidur."
Patuh, Ryan mengusap-usap perut Ariska dari luar bajunya sampai wanita itu tertidur pulas.
***
Kembali, sepi menyambut Ryan saat membuka daun pintu rumahnya. Tidak ada Jihan yang seharusnya sedang mengelap daun-daun tanamannya di ruang tamu, tidak ada Jihan yang harusnya sedang merapikan meja keluarga, tidak ada Jihan yang seharusnya sedang menyisir rambut di depan cermin kamarnya.
Ryan kembali dilanda ketakutan, ia berjalan setelah berlari ke arah dapur, ruang makan, taman belakang. Jihan kembali meninggalkan ponselnya di atas meja keluarga. Saat Ryan hendak ke luar rumah, suara rengekan anak kecil memekakan telinganya, disusul suara desisan wanita.
Perlahan, Ryan membuka pintu kamar tamu yang menjadi sumber suara tersebut. Ryan menghela napas lega melihat istrinya masih berbaring lengkap dengan pakaian tidurnya.
"Jihan," panggilnya membuat istrinya menoleh.
Jihan menempelkan telunjuknya di depan bibir isyarat agar Ryan tidak berisik. Lantas, Ryan menghampiri istrinya dan ikut bergabung di tempat tidur.
"Vera di sini?" tanya Ryan menatap balita milik tetangganya yang tengah ditepuk-tepuk pantatnya oleh Jihan.
Tidak langsung menjawab, Jihan mencium pipi suaminya dulu lalu menjawab pelan, "dari semalam. Aku culik dari ibunya, biar aku nggak sendirian. Dia sempat nangis karena aku telat bikin susu dot."
"Maaf," lirih Ryan sembara memeluk istrinya dari belakang, menyerukkan wajahnya di tengkuk Jihan.
"Kamu mandi sana, biar aku bikinin sarapan," ucap Jihan. "Mumpung Vera tidur lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Patah Tumbuh [END]
Random"Aku cinta kamu, dari dulu sampai sekarang aku cinta kamu," tukas Ariska. "Waktu nggak bisa merubah perasaanku, Ryan." Ryan menelan salivanya dengan serat saat melihat mata Ariska yang berkaca-kaca. Rasanya ia ingin merengkuh tubuh wanita itu ke dal...