16

32.6K 1.8K 77
                                    

Kayaknya part ini nggak mengundang emosi, jadi aku up sekarang. Happy Reading.....



*****




Pada akhirnya, Jihan menyerah dan memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya. Mereka sempat hampir tidak menerima dan cenderung menyalahkan Jihan mati-matian Jihan menjelaskan apa saja yang sudah dilakukan Ryan padanya.

Mereka terkejut karena tidak percaya setelah kebaikan-kebaikan Ryan yang mereka terima. Jihan terus menjelaskan, sampai ayahnya merangkulnya dan mengatakan, "mungkin memang sudah sebaiknya kamu pulang."

Jihan menangis, tersedu. Hanya ini yang ia butuhkan, rangkulan hangat yang menenangkan saat ia pulang. Bukan suguhan masalah yang selalu ia dapat setiap menginjakan kaki di rumahnya sendiri.

Jihan beranjak dari duduknya dan menaiki tangga, menuju kamarnya dulu. Ia bukannya tidak rindu dengan keluarga yang begitu jarang ia kunjungi. Jihan hanya membutuhkan waktu sendiri. Ia patah, hancur, tidak punya apapun. Semua yang dimilikinya seperti dirampas sekaligus, secara tiba-tiba sampai ia tidak sempat mempersiapkan diri. Sekarang, apa yang tersisa?

Tidak ada.

Jihan bingung, sedih, marah, kecewa, sampai tidak tahu emosi mana yang ingin ia keluarkan. Jihan benar-benar lelah. Ia merebahkan diri di ranjangnya, sendiri, dan berharap ia terlelap. Ia seperti tidak akan sanggup menghadapi hari ini. Jika bisa ia ingin tidur panjang dan bangun lagi nanti, setelah ia siap menerima kenyataan. Ia ingin bangun lagi setelah badai masalahnya reda dan menjadi baik-baik saja.

Bohong saat mengatakan bahwa Jihan akan meninggalkan Ryan dan hidup baik-baik saja. Nyatanya, Jihan tidak bisa membayangkan hidup tanpa Ryan, ia akan sangat kehilangan.
Pria itu, Ryan, tidak terlalu banyak bicara namun kadang juga ia menjadi penyimak yang baik. Jihan merasa mempunyai teman yang begitu mencintainya saat bersama Ryan. Ryan adalah pria yang mampu memenuhi semua hasratnya. Sebenarnya dengan Ryan, Jihan seperti tidak membutuhkan apapun. Mendengar deru napas Ryan yang tenang saat tertidur pun mampu membawa serta jiwanya begitu tenang.

Oh, begini saja Jihan sudah rindu, sangat merindukan Ryan, suaminya yang sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Tentu saja, Ariska dan bayinya lebih membutuhkan Ryan. Jihan melepaskan Ryan bukan karena sanggup, tetapi ia tidak ingin membagi Ryan, maka ia lepaskan.

Setelah cukup lama, Jihan menyeka air matanya sendiri yang terus saja mengalir tanpa ada tanda akan berhenti. Bahkan ia tidak bisa memejamkan matanya, bayangan Ryan semakin terlihat jelas saat semuanya gelap.

Jihan beranjak dan mengambil air wudhu, menunaikan ibadah dan memanjatkan doa dengan harapan kegelisahan hatinya sirna. Ia meminta dilapangkan dada karena ketidak ikhlasan begitu membebani dirinya sampai sesak nyaris tidak tertahan.

Saat sedang merenung, suara gaduh dari luar kamarnya terdengar, menarik Jihan dari lamunannya. Ia bergegas membuka mukenanya dan keluar. Dari atas, ia melihat Ryan yang berantakan bersikeras meminta dipertemukan dengan Jihan, namun ayah dan kakak iparnya menahan Ryan, juga Selvi yang begitu sinis menyindir Ryan.

Ryan terlihat mengusap wajahnya kasar dan menengadah, Ryan langsung mengacungkan amplop putih di tangannya dan berteriak, "Jihan, aku punya buktinya, Jihan! Sekali ini aja dengerin aku dulu, aku mohon."

Rasanya seperti ada daun alang yang menyayat hatinya. Begitu sakit, begitu perih. Bahkan dari kejauhan Jihan bisa melihat sorot penuh harap terlewat putus asa suaminya. Benar-benar menyakitkan melihat Ryan yang terus dicerca keluarganya.

Rasa iba dan cinta kepada Ryan masih mendominasi sehingga tanpa sadar, Jihan bertanya, "bukti apa?"

"Bukti kalau aku nggak bisa punya anak."

***

"Mempunyai anak itu seperti mukjizat buat aku."

Jihan mengingat penuturan Ryan sebelumnya. Ia hanya bisa melipat kembali hasil tes kesuburan milik Ryan dengan perasaan yang hancur. Jika ia bisa sehancur ini, bagaimana dengan Ryan?

Pria itu menghampiri Jihan, duduk di tepian tempat tidur dan berucap, "ternyata masalahnya ada di aku, Ji. Tingkat kesuburanku rendah, dan nggak mampu membuahi kamu. Aku gagal."

"Kenapa baru bilang sekarang?"

"Aku malu karena sempat mengira bahwa masalahnya itu di kamu, tapi ternyata..." Ryan tidak melanjutkan kalimatnya.

"Apa..... apa bisa diobati?"

Ryan mengangguk. "Terapi, dan kontrol rutin. Tapi hasilnya lama, butuh waktu berbulan-bulan, Ji. Aku kira kita bakal bertahan sampai waktu itu, tapi ternyata aku udah keterlaluan bikin kamu kecewa."

"Kamu mau minta aku buat bertahan lagi?" Jihan menyelami netra sendu milik suaminya.

"Apa aku punya kuasa buat nahan kamu lagi?"

"..."

Melihat Jihan yang bergeming, Ryan mengangguk paham. "Kalau boleh, sebenarnya aku mau minta kamu buat bertahan lagi sama aku. Tapi mengingat semua yang udah aku lakuin ke kamu, juga kekurangan aku, aku merasa nggak pantas. Aku nggak mau lepasin kamu, tapi kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku, yang bisa ngasih kamu keturunan-"

"Kamu bukan nggak bisa punya keturunan, Ryan," tukas Jihan.

Hatinya tersayat melihat kesedihan Ryan. Tidak berbohong, Ryan benar-benar sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia putus asa sampai pasrah dengan keadaannya. Jihan tidak bisa melihat Ryan seperti ini, ia ingin membawa kembali kehidupan Ryan yang penuh suka cita seperti dulu.

"Kamu cuma perlu berusaha sedikit lagi," lanjut Jihan

"Nggak ada gunanya kalau nggak sama kamu, karena aku berusaha buat kamu yang selalu bayangin punya bayi, dari aku. Jihan, harapan kamu itu harapan aku juga. Kamu bilang pengin ngerasain hamil, aku juga bayangin kalau kamu hamil anak aku. Perutmu membuncit, tapi aku bangga dan bahagia."

"Itu sebabnya kamu selalu usap perut aku?"

Ryan mengangguk dan terkekeh miris. "Aku cuma membayangkan seandainya anak-anak aku tumbuh di perut kamu."

Jihan terkekeh sebelum meraih tangan Ryan dan mengusapnya lembu. "Aku tanya sekali lagi, apa Ariska masih punya tempat di hati kamu?"

"Nggak!" bantah Ryan langsung tanpa berpikir. Secara impulsif, Ryan mengeratkan tautan tangannya dengan Jihan. "Rasa buat Ariska udah hilang, nggak bersisa, Jihan."

"Selain Ariska apa ada wanita lain?"

Ryan menggeleng tegas. "Kamu satu-satunya."

"Seandainya nanti, ada wanita lain yang lebih sempurna dari aku, apa kamu bakal kayak kemarin lagi?"

"Kamu wanita yang paling sempurna, Jihan. Nggak ada duanya, aku nggak mau mengulangi hal itu lagi."

"Kenapa nggak mau?"

"Aku udah tau akibatnya, aku kapok. Kamu jadi mengabaikan aku, baru begitu aja aku merasa separuh hidupku hilang..." Ryan memelankan nada bicaranya di akhir kalimat.

Melihat kesungguhan dan kejujuran di mata Ryan yang akhir-akhir ini sangat jarang ia perhatikan, Jihan menyunggingkan senyumnya tipis. "Seandainya aku mau ngasih kamu kesempatan lagi, apa jaminannya kalau kamu nggak bakal ngulangi kesalahan kamu?"

Ryan mengunci tatapannya, Jihan tahu bahwa Ryan tengah berpikir, menerjemahkan maksudnya. Sejujurnya, Jihan juga kurang yakin dengan keputusannya. Bagaimanapun apa yang sudah diperbuat Ryan membunuh kepercayaannya, rasa takut percaya pada Ryan pun belum hilang. Tapi melihat keadaan Ryan saat ini, Jihan menjadi iba.

Ia tidak mau Ryan mengalami keputus asaan selama hidupnya. Jihan sadar betul bahwa dirinyalah yang selama ini menjadi semangat suaminya, Ryan juga sempat mengaku seperti itu. Jihan juga tidak ingin meninggalkan seseorang sembari menyelipkan luka dan kehancuran.

"Maksudnya?" Cukup lama hening, Ryan bercicit membuat Jihan melebarkan matanya dan nyaris memukul suaminya yang bodoh.



















Jumat, 23 April 2021











Yang Patah Tumbuh [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang