One Day With Zevan

226 20 0
                                    

Kata orang, ada kalanya waktu akan berjalan sangat lambat dan ada kalanya pula waktu berjalan sangat cepat. Melampaui batas kekuatan manusia, yang masih saja terus merasa belum siap untuk menghadapi waktu yang semakin lama semakin kejam.

Begitu pula dengan Angkasa, bagi gadis itu waktu akan terus melangkah, tanpa peduli dirinya siap atau tidak untuk berjalan dalam dentingan detik demi detik yang akan berubah menjadi tahun demi tahun itu.

Seperti pagi ini, Angkasa rasanya baru saja satu jam tidur dengan nyenyak. Namun, mendadak matahari telah menerobos gorden coklat pastel di kamarnya diikuti oleh suara mesin mobil Bryan yang mungkin sedang dipanaskan.

Angkasa duduk di pinggiran kasur, kamarnya seraya mengikat tali sepatu miliknya. Masih teringat kapan dirinya terakhir sekali dibelikan sepatu, saat Angkasa masih duduk di bangku SMP. Dan saat ini sepatu itu masih bertahan dan bagus walau warnanya sudah semakin pudar. Setiap kali, sepatu itu robek atau bolong, Angkasa mengantarnya ke tukang jahit sepatu di depan gang dengan uang hasil sisihannya.

Angkasa menggelengkan kepalanya sambil memghela nafasnya panjang. Berusaha tak ingin mengingat-ingat lagi segala macam kenangan buruk dari otak Angkasa.

"Angkasa percaya kok masih banyak orang di luaran sana yang gak seberuntung Angkasa!" tekad Angkasa dalam hati. Menyemangati dirinya sendiri.

Angkasa mengangkat tas ransel dari sandaran kursi meja belajarnya, lalu seketika melampirkan benda tersebut ke punggung miliknya. Sejenak, Angkasa tersenyum simpul, lalu perlahan membuka kenop pintu kamarnya. Mata Angkasa mengitari ruangan di depannya, namun tak ada satupun orang selain Asisten Rumah Tangga yang terlihat sedang  membersihkan meja makan dengan telaten.

"Papa dan mama kemana Bi?" tanya Angkasa seraya berjalan menuju meja makan tersebut.

"Tuan sama nyonya ke luar kota non, katanya ada kerjaan penting disana," kata ART tersebut.

Angkasa mengangguk paham, Angkasa sudah sangat hafal bagaimana bokapnya itu. Bryan akan selalu membawa Mita untuk menemaninya ke luar kota, walaupun itu adalah urusan pekerjaan. Apalagi jika urusan itu memaksa Bryan untuk menginap disana, Bryan akan membujuk Mita setengah mati untuk ikut bersamanya. Walau bagaimanapun, Angkasa sangat bangga melihat bokapnya yang selalu mengutamakan nyokapnya dari siapapun.

"Kalau Bulan dan Bintang bik?" tanya Angkasa lagi.

"Mereka udah pergi ke sekolah non. Tadi sekalian dianter sama Tuan dan nyonya sebelum berangkat!" ujar ART sabar.

Angkasa lagi dan lagi mengangguk paham. Walaupun hatinya memang agak sedikit berbeda. Tapi Angkasa akan selalu berusaha untuk tak lagi berharap kepada kedua orangtuanya, berharap kepada Bryan atau Mita untuk menyanyangi Angkasa sama seperti anak-anak yang memang darah daging mereka sendiri.

"Yaudah, Angkasa berangkat dulu yah bik!" ujar Angkasa sembari mulai berdiri tegap.

"Gak sarapan dulu non?"

Angkasa menggeleng, "Gausah bik, Angkasa lagi gak mood buat makan pagi-pagi gini. Angkasa makan di kantin sekolah saja nanti!" kata Angkasa.

"Oke non, hati-hati di jalannya,"

Angkasa mengangkat wajahnya yang sedikit bercahaya pagi ini. Setidaknya, di pagi ini gadis itu tak mendapat hal yang dapat menghancurkan moodnya. Angkasa berjalan menuju pintu depan rumahnya, berniat menunggu angkot seperti biasanya di halte depan.

Angkasa, menaruh tangan kanannya di depan sebuah kendaraan yang di depannya ada cap 41. Lantas, angkot itu berhenti tepat di hadapan Angkasa. Angkasa, naik perhalan, menaruh bokongnya di kursi panjang yang terletak di belakang supir. Sejenak, dia mengambil ponsel dari saku roknya dan menaruh benda pipih itu di atas pangkuannya.

Angkasa (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang