Kalian yang selalu ada.

220 17 1
                                    

Angkasa memegang erat tangan Icha, dengan Icha yang duduk di samping Angkasa. Keduanya sama-sama terdiam setelah kehabisan kata dalam acara sesi maaf-maafan yang berlangsung cukup panjang  tadi. Icha dengan bola mata yang masih berkaca-kaca terus mengusap tangan Angkasa, rasa bersalahnya nampaknya sangat kuat.

"Angkasa beneran mau maafin gue?" Icha terus mengulang pertanyaan itu. Takut Angkasa hanya berpura-pura, ia butuh kepastian.

Angkasa menghela nafasnya panjang, mulai jengah dengan sikpa sahabatnya itu, "Beneran Cha, Angkasa maafin! Untuk apa bohong coba?" kata Angkasa seraya mengelus pundak Icha sejenak.

"Makasih buat maafnya, gue gak tau mau nebus kesalahan gue dengan apa," Icha tertunduk malu.

"Cukup jadi sahabat Angkasa dan nemenin Angkasa, kemanapun Angkasa mau. Rasanya itu sudah lebih dari sangat cukup!" ujar Angkasa tersemyum hangat.

"Kalau itu, tanpa Lo perintah gue akan selalu siap!" sahut Icha.

"Peluk Angkasa dulu dong Cha!" pinta Angkasa sembari mengerucutkan bibirnya gemash.

"Aaaaaaaa ... ayo peyuk-peyuk!" Icha melebarkan kedua tangannya, lalu kedua gadis tersebut saling menukar pelukan hangat. Pelukan yang rasanya bisa melepas semua rasa sakit hati yang ada dalam hati paling dalam mereka.

"Cieeeeeeee ... yang udah baikan. Kakaknya juga gak mau dipeluk-peluk nih?" goda Zevan membeo yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Peluk aja dinding sana!" sahut Icha, sedikit menjulurkan lidahnya.

Zevan menurunkan bibirnya, berpura-pura menangis seperti anak kecil, "Jahat yah sama kakak! Kakak nangis nih?" ancam Zevan sesekali mengucek matanya.

"Najis banget kakak gue!" ujar Icha membuat Angkasa terkekeh keras.

"Ketawain ajah sampai puas. Ketawain sampai danau Toba surut, sampai Bulan punya cahayanya sendiri, sampai ikan bisa jalan!" bentak Zevan mematikan.

Angkasa dan Icha saling bertatapan, mata mereka saling menatap, seolah berbicara bahwa Zevan sudah gila.

"Yaudah, peluk Angkasa dan Icha yuk!" ajak Icha tersenyum hangat.  Angkasa mengangguk sangat setuju.

Zevan yang mendengar itu lantas tersenyum simpul penuh arti seraya berjalan menuju posisi Angkasa dan Icha. Ikut bahagian dengan kebahagiaan Angkasa dan Icha.

Perlahan Zevan, Angkasa dan Icha saling berpelukan. Dengan Angkasa di tengah mereka. Hangat, satu kata yang bisa dirasakan ketiganya. Untuk Angkasa, gadis itu kembali mengeluarkan air mata. Bukan air mata luka lagi, tapi air mata dimana gadis itu sangat terharu.

Zevan perlahan melepaskan pelukannya, diikuti oleh Angkasa juga Icha. Mereka menatap manik mata satu sama lain, seraya tersenyum simpul.

"Kata ayah, kita harus dibawa ke Rumah Sakit Utama di kota Sa," ujar Zevan memberitahu.

"Kenapa kak? Apa kakak dan Angkasa gak bisa dirawat di klinik ini aja?" sahut Icha bertanya.

Zevan menggeleng, "Ayah gak yakin, Angkasa bisa pulih di Klinik ini atau kalau sekalipun bisa pulih disini, pasti membutuhkan waktu yang lebih lama daripada di Rumah sakit!"  jelas Zevan, membuat Angkasa dan Icha mengangguk sangat paham.

"Kamu gak keberatan kan Angkasa?" tanya Zevan, fokus pada Angkasa.

Angkasa menatap lekat kedua kakinya yang kini masih bisa dilihat namun tak bisa dia rasakan lagi, seraya berucap, "Apa kita harus repot-repot pindah kak? Toh, di klinik ini atau di Rumah Sakit, hasilnya sama saja? Angkasa tetap lumpuh kan?" Gadis itu mengatakannya dengan lugas, mencoba tetap tegar.

Angkasa (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang