Zevan Prawyra Nugraha

287 27 7
                                    

Zevan membopong Angkasa dalam dekapnya menuju IGD tempat bokapnya bekerja. Rumah Sakit yang cukup terkenal di kota Bandung.  Icha mengikuti Zevan dari belakang. Memandangi punggung kakaknya yang terlihat lebih gagah.

Zevan meletakkan Angkasa di salah satu kasur di IGD. Dokter ditemani beberapa suster lansung menghadang Angkasa.

"Kalian tunggu diluar saja yah mas, mbak!" suruh salah satu suster bergaun putih ditemani benda menonjol di kepalanya.

Zevan mengangguk mengiyakan, dan lansung keluar. Peluh dan keringat sudah menyelimuti rambut hitamnya. Dia berjalan ngos-ngosan keluar dari ruangan itu .

"Teman saya dijaga yah sus." titip Icha.

****

"Makasih kak," ujar Icha sembari duduk disamping Zevan.

"For?"

"Udah mau menolong teman aku."

"Trus?"

"Ikh!!!! Gitu banget sih jadi orang, tadi kan mau serius. Kan jadi kesel anjirrr!" Icha mengerutkan bibinya kepada Zevan. Kakaknya ini selalu saja bisa membuatnya kesal, dalam keadaan apapun. Sungguh menyebalkan!

"Kan kamu gak perlu berterimakasih dek!" tutur Zevan mengusap lembut rambut Icha. Pria itu terkekeh melihat bibir Icha yang mengerucut.

"Mulai deh! Aku bukan boneka mu, bisa kau usap usap dengan seenak maumu...." Icha mulai bersenandung sambil memainkan jari telunjuknya kearah Zevan.

"Kamu lucu kalau rambutnya berantakan," ucadp Zevan cekikikan.

"Lucu Mbah mu!"

Zevan akhirnya berhenti menjahili Icha. Mata gelap pria itu mulai menerawang ke depan. Jemarinya saling mengatup diatas paha miliknya. Mata pandanya kini mulai menutup. Seolah, ingin beristirahat sejenak.

"Kak, jangan terlalu capek kuliahnya," lembut Icha menatap Zevan dari samping.

Icha tau Zevan tak pernah cukup tidur, selalu begadang menyelesaikan tugas kuliah.  Bahkan sering kali kakaknya itu telat makan atau hanya makan mie instan saja. Untung saja, bokapnya memutuskan untuk Zevan pindah kampus dan lebih dekat dengan keluarga. Agar, Icha ataupun Martin bisa memantau hidup Zevan.

"Kakak gak capek dek," lirih Zevan, masih setia menutup kelopak matanya.

"Yaudah, tapi kakak pulang aja yah. Kakak bobo, itu matanya udah ngantuk." suruh Icha tegas.

"Gak! Kakak gak mau kamu sendiri disini. Bahaya!"

"Kan aku bisa panggil ayah!"

"Ayah kerja dek! Jangan digangguin,"

"Iyah deh! Kakak mah gak pernah bisa dilawan," pasrah Icha, menyenderkan kepalanya di bahu Zevan.

"Siapa suruh kamu lawan kakak!"

"Iyain deh. Udah akh!"

****

Angkasa perlahan membuka matanya.  Cahaya putih juga terang lansung saja menusuk Indra penglihatannya. Kepalanya masih pusing, kakinya juga masih terasa lemas juga kaku. Mata Angkasa mengerjap kaget saat melihat tangannya yang sudah ditusuk selang infus. Dari baunya Angkasa tau ini Rumah Sakit.

Angkasa melihat atap putih, mencoba mengingat apa yang terjadi. Mengapa dia bisa berada di sini? Yah! Angkasa ingat! Dia pingsan tadi. Dan Angkasa tau pasti, Icha lah yang membawanya ke sini.

"Sus, teman saya dimana?" serak Angkasa, bertanya pada suster yang duduk lumayan jauh dari dirinya.

"Mbak sudah bangun? Sebentar, saya panggil yah," ujar suster itu.

Angkasa (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang