Sakit

316 11 0
                                    

Air mata itu terus mengalir di pipi Angkasa. Bahkan malam ini, gadis itu masih tetap duduk di posisi yang sama. Menatap hampa para petugas bandara, keluarga, dan tim Basarnas yang sedari tadi bergonta-ganti berlarian di hadapannya.

Sesak di dadanya semakin lama semakin menghantam paru-parunya. Sekarang ini, Angkasa rasanya sangat sulit sekali walau hanya untuk sekedar bernafas.

"Angkasaaa...." teriak seseorang dari jauh.

"Mama?" lirih Angkasa

Mita dan Bryan menghampiri Angkasa dengan raut wajah yang sama seperti orang lain. Dengan air mata, dan kesedihan di garis mata mereka.

Tanpa berkata apa-apa, Bryan dan Mita memeluk Angkasa secara bersamaan. Kedua orang itu agaknya sudah tau, bagaimana perasaan putri mereka itu.

Sedangkan Angkasa, malah semakin menangis di pelukan orang tuanya. Kenapa disaat orangtuanya telah kembali menyayanginya, orang yang mengusahakan hal itu malah pergi? Kenapa dirinya tak bisa merasakan kebahagiaan yang penuh.

"Mama kapan nyampe?" tanya Angkasa berat.

"Baru aja! Mama tau kamu ada di Bandara ini, dan Icha yang kasih tau sama mama. Kalau kamu ada disini!" jelas Mita lembut.

Angkasa mengangguk paham, mengusap air matanya kasar, "Maafin Angkasa, sampai lupa sama mama dan papa yah," ucapnya.

Bryan mengelus rambut Angkasa, melihat wajah putri pertamanya itu dengan tatapan sendu, "Gak apa-apa sayang, papa dan mama tau kalau keadaan ini berat banget untuk kamu!" ujar Bryan tak kalah lembut.

"Gimana perkembangan pencariannya?" tanya Mita.

Angkasa menggeleng, "Belum ada kabar ma!"

Bryan dan Mita memeluk Angkasa lagi, berharap pelukan mereka akan membuang sedikit sakit yang dirasakan Angkasa, "Kita berdoa saja ya nak!" ujar Mita.

Dari arah lain, tampak Icha sedang berlari-lari ke arah Angkasa. Bulir keringat di dahi Icha, seakan senada dengan air mata yang rasanya belum kering hingga malam ini.

"Kenapa Cha?" tanya Angkasa tergesa-gesa, gadis itu berdiri. Menatap Icha dengan tatapan penasaran.

Icha menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya terengah-engah. Ia belum bisa berbicara sekarang. Mita, mendekati Icha. Mengelus pundak gadis itu, seakan mengerti kalau Icha sangat lelah.

"Pesawat yang ditumpangi kak Zevan udah ditemukan!" tegas Icha cepat, setelah dirasanya ia sudah bisa berbicara.

Jantung Angkasa lansung berdegup kencang, ada secercah harapan terlukis di wajahnya, "Dimana Cha? Kasih tau Angkasa!" ujar Angkasa tergesa-gesa.

"Pesawat itu jatuh di area perhutanan luas. Dan masih berada di kawasan Indonesia!" papar Icha penuh penekanan.

Angkasa lansung menatap Bryan lekat, memegang tangan papanya itu erat, "Ayo kita kesana pa!" pintanya tanpa sadar.

Icha menggeleng, "Sa, kita gak diizinkan untuk ikut kesana! Kawasan hutan itu cukup berbahaya," bantah Icha.

Angkasa menurunkan bahunya putus asa, bibirnya bergetir takut. Bagaimana ia bisa tetap disini,sedangkan Zevannya sedang menderita disana?

"Lantas, kita harus apa Cha? Mereka mau kita cuman diam aja disini?" marah Angkasa.

"Mereka suruh kita buat lansung ke Rumah Sakit dekat Bandara ini. Seluruh korban bakalan dilarikan kesana!" jelas Icha tanpa basa-basi.

Angkasa menggeleng, "Gak! Angkasa takut mereka gak selamatkan kak Zevan!" lirih Angkasa.

Bryan mengelus rambut hitam putrinya, "Sa, kita serahin semuanya kepada Basarnas dan pihak Bandara yah. Kita kerumah sakit, seperti kata Icha," bujuk Bryan.

Angkasa (THE END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang