Ini (Bukan) Rindu

52.9K 4.2K 196
                                    

Selamat membaca.

☕☕☕


Setelah pertengkarannya dengan Saka di kampus pada hari itu, Nabilla benar-benar pulang seorang diri. Dan sisa hari itu pun, ia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar. Menangis sepuasanya.

Suara derit pintu kamar yang terbuka, membuat Nabilla langsung menyeka air matanya. Sisi tempat tidurnya terasa bergerak, ia pun membuka sebagian selimut yang membungkus tubuhnya dan beringsut, meyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur.

Hal pertama yang ia lihat, senyum sang ibu yang meneduhkan hatinya. "Kenapa Bu?" tanyanya pelan.

Wina membelai surai sang putri penuh kasih sayang. "Itu, di depan ada Saka. Katanya, mau ketemu sama kamu," beritahunya.

Nabilla menggeleng dengan tatapan memohon. "Billa nggak mau ketemu, Bu. Suruh pulang aja. Ibu bisa tolongin Billa kan, buat bilang sama Kak Saka kalau Billa lagi nggak enak badan, atau apa gitu, Bu," pelasnya.

Wina menatap wajah sembab putrinya dalam-dalam. "Kalian ada masalah, ya?" Ia dan sang suami, tahu betul hubungan yang terjalin antara pemuda yang saat ini berada di ruang tamu mereka dengan putrinya itu.

"Bu." Nabilla merunduk, jari tangannya saling meremas gelisah di atas selimut. Kesedihannya gagal ia sembunyikan.

Wina menggenggam kedua tangan putrinya dengan hangat. "Apapun, masalah kalian, ada baiknya bicarakan baik-baik," sarannya.

"Tapi, Bu." Nabilla memelas.

"Temui saja sebentar, nggak sopan sama tamu begitu." Belaian lembut dari sang ibu, mampu membuat Nabilla mau tidak mau mengangguk setuju.

"Ya sudah, kamu cuci muka dulu, sana, mumpung Saka masih ngobrol sama ayah," suruh Wina dengan senyum yang tentu meneduhkan. "Mau ibu temani?" tawarnya, katika sang putri masih berdiam diri.

"Nggak usah, Bu. Billa sendiri saja." Nabilla langsung beranjak ke kamar mandi. Memperbaiki penampilannya yang kacau.

Beberapa menit kemudian.

Nabilla menuruni satu persatu anak tangga perlahan-lahan. Sayup-sayup, percakapan Saka dengan ayahnya mulai terdengar.

Semakin dekat dengan ruang tamu, langkahnya semakin menderap-derap. Di balik sekat antara ruang keluarga dan ruang tamu, Nabilla melebarkan daun telinganya. Menguping pembicaraan kedua pria yang ia cintai itu dengan baik-baik.

Tidak menemukan pembicaraan yang mencurigakan, ia pun segera ke ruang tamu. Mendeham kecil, Nabilla berusaha menarik seluruh atensi kedua pria beda usia itu.

"Karena tuan putrinya sudah turun, Om tinggal, ya?" Ayah Nabilla menepuk pundak Saka. "Menghadapi kaum hawa satu ini, kamu harus banyak-banyak bersabar," guraunya, sebelum berlalu.

Saka mengikuti punggung Ayah Nabilla dengan tatapannya. Setelah menghilang di balik sekat tembok, tatapannya beralih pada Nabilla yang masih beridiri di samping kursi yang Ayahnya duduki tadi.

Saka berdiri menyambut Nabilla. "Na ... " Hatinya tertohok, mendapati kelopak mata Nabilla yang membengkak. "Kenapa kamu tadi langsung pergi?" tanyanya, ia mendaratkan lagi bokongnya di kursi, seperti Nabilla yang sudah duduk di hadapannya.

"Aku rasa, kak Saka tahu jawabannya." Nabilla menjawab seadanya. Tanpa mau melihat wajah Saka sedikitpun.

"Bukannya kamu pernah bilang, kalau kamu menganggap Audy sudah seperti saudaramu sendiri, Na?" kata Saka cukup berhati-hati.

Wajah yang masih menyisakan sembab itu langsung terangkat. "Tolong, jangan sebut namanya lagi," tolaknya.

"Maaf," Saka merunduk, merasa bersalah.

TitikTemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang