Menagih Janji

48.6K 3.4K 84
                                    

Selamat membaca. 😅

☕☕☕

"Bagaimanapun, janji adalah hutang yang harus di lunasi."

-TitikTemu."

☕☕☕

Nabilla mendorong pintu ruang kerja Saka setelah laki-laki itu mengizinkannya untuk masuk. Gerakan kakinya sempat tertahan ketika sekilas percakapan Saka dengan seseorang di balik telpon terdengar membahas 'pertunangan.'

Cengkraman jemarinya pada sisi nampan, tanpa terasa menguat dengan sendirinya.
Dadanya pun bergemuruh seketika.

Ada rasa marah dan kecewa saat mengetahui seseorang yang sudah membuangnya seperti sampah itu tetap menjalani hidup tanpa beban dan terlihat baik-baik saja. Bahkan akan bertunangan.

Mulus sekali perjalanan kisah sepasang pengkhianat itu. Batinnya menyimpulkan.

Sedangkan dirinya? Terus berkubang dalam lara yang laki-laki itu torehkan. Setiap kali ada orang baru yang berusaha mendekatinya, Nabilla selalu berpikir, suatu saat pasti ia akan di buang lagi.

Sungguh, sempurna sekali Tuhan memberinya penderitaan tanpa penawarnya.

Ia belum iklhas, ia belum rela sepasang  pengkhianat itu berakhir bahagia. Jerit hatinya membara.

Segera, Nabilla memasang wajah datar saat Saka mengakhiri telpon tersebut dan lekas mengerakkan lagi kakinya menggapai meja laki-laki itu.

"Permisi, Pak. Ini, kopi yang anda minta." Nabilla meletakkan cangkir kopi tepat di depan Saka. Persis seperti saat ia melayani pengunjung cafe. Sedangkan nampan yang sudah kosong, sementara ia dekap.

Aroma khas dari kopi yang menguar, menggoda Saka untuk segera meraih cangkir itu. "Terima kasih," balasnya.

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya permisi." Nabilla berbalik untuk pergi. Tetapi Saka lebih cepat mencegahnya.

"Sebentar Nabilla."

Ia pun dengan terpaksa berbalik lagi, menghadap Saka dan menarik kedua sudut bibinya yang kaku itu keatas. "Ada yang anda perlukan lagi, Pak?" tanyanya. Walaupun dalam hati berkata 'jangan' dengan lantang.

"Itu tadi, adik saya yang menelpon. Dalam waktu dekat dia akan bertunangan. Dan dia ingin, acara pertunangannya itu di langsungkan disini," beber Saka. Ia tidak ingin Nabilla berpikir macam-macam tentangnya.

"Mohon maaf, Pak. Tapi sepertinya, hal itu tidak ada hubungannya dengan saya," sahut Nabilla tanpa berpikir lagi.

"Saya hanya tidak ingin kamu salah faham," jelas Saka lebih sederhana.

Ujung alis Nabilla sedikit terangkat. "Saya rasa, anda terlalu berlebihan, Pak. Karena bagaimana pun, tidak ada kepentingan untuk saya harus salah faham dengan yang menjadi urusan anda. Terlebih itu urusan keluarga anda," ujarnya lugas.

"Saya hanya ingin kamu mengetahui jika yang akan bertunangan bukan saya," jelas Saka lagi. Ia menggulirkan matanya pada kalender di pojok kanan meja kerjanya sekilas. "Oh iya. Kalau boleh saya tahu, Tadi, kalian sedang serius membicarakan liburan? Kalian mau pergi kemana?" tanyanya, mengganti topik pembicaraan.

"Untuk pergi kemananya, kami belum membicarakannya lebih lanjut, Pak. Tapi, berhubung anda membahasnya lebih dulu, bisakah saya mewakili teman-teman saya yang lain untuk meminta izin mengambil hari libur kami seperti yang pernah anda katakan, tempo hari?" ujar Nabilla tanpa banyak berbasa basi. Jujur saja, ia ingin segera keluar dari ruangan itu.

TitikTemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang