Part 16 [Ending]

7 3 0
                                    

Betapa terkejutnya Louis dan Harry melihat beberapa tubuh yang tergeletak di tanah. Dengan keadaan yang tak utuh lagi, darah yang terus mengucur deras dari bagian yang hilang. Keduanya sangat terkejut, sampai-sampai tak bisa berkata apapun lagi. Mata Louis mulai berkaca-kaca, warna putih pada matanya mulai muncul warna merah.

Harry berusaha menenangkannya, namun Louis berlari dengan cepat meninggalkan keempat orang yang dia kenal. Pertama, orang yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri, yaitu J. Kedua, orang yang selalu membuatnya kesal, Hevan. Ketiga, orang yang bisa mencairkan suasana, Woti. Dan yang terakhir, orang yang baru dia selamatkan kemarin.

"Dasar tidak berguna! Aku akan bunuh apa pun itu!"

Larinya semakin dipercepat, entah ranting pohon atau semak-semak yang menghalangi jalannya, dia halau. Sedangkan Harry mengejarnya dari belakang.

Sampai di mana Liam terpojok di pohon besar. Louis yang melihat itu tanpa basa-basi langsung menancapkan kayu runcing yang dibuatnya. Tepat sasaran, kayu itu langsung menembus tengkorak kepala bagian depan. Beruang mutan itu seketika ambruk dengan mulut menganga, kurang sedetik saja, nyawa Liam akan sama seperti lainnya.

Deruan napas dari keduanya terdengar jelas di telinga masing-masing. Detak jantung yang berdenyut sangat kencang layaknya menonton film horor di tengah malam. Louis mendekat ke arah Liam yang menatap kosong mayat beruang itu. Dari belakang Louis, Harry muncul yang bersamaan dengan kelompok Viivi.

"A-apa yang terjadi?" Tanya Viivi sambil mendekat ke arah tubuh beruang itu. Diikuti Alan, 10K, juga Sofie yang menghampiri Harry.

"Edwin, Hevan, Woti, juga J telah menjadi mangsa beruang ini." Terlihat tatapan sedih terpancar dari wajah Harry, melihat itu, Sofie langsung memeluknya dan disambut oleh Harry.

10K juga Alan saling menatap tak percaya dengan keadaan ini. Tak disangka keempat orang itu telah tiada, rasanya sesak mengingat masa-masa di mana mereka berbincang dan bertukar canda. Tawa yang menggelegar dari Hevan kini telah sirna dan tinggal kenangan. Perut buncit J yang selalu melambai ketika ia berjalan telah melekat di ingatan mereka. Bahkan, suara tegas milik Edwin terngiang-ngiang di dalam ingatan mereka. Duka menyelimuti diri.

Viivi yang merasakan matanya memanas menitikkan air mata dengan deras. Tak kuasa melihat air mata dari orang yang disukai, Alan memberanikan diri menghampirinya dan mendekap tubuh Viivi.

"Hei, aku tau kau pasti terpukul menyaksikan kematian yang mengenaskan tepat di depan matamu. Aku tau rasanya pasti sangat menyakitkan kehilangan orang yang berada cukup lama di sampingmu. Tapi ini adalah takdir," Louis berusaha menenangakan Liam yang tubuhnya bergetar.

Tak ada sahutan darinya, namun beberapa detik kemudian dia angkat bicara. "Aku sudah terbiasa merasakan kehilangan, aku memang tak suka dengan Pak Tentara itu, tapi ketika mengingat percakapan yang membuat ku kesal darinya ... sepertinya aku akan merindukan ucapan itu."

Louis menitikkan air mata, lantas dengan cepat dia menghapusnya dengan punggung tangan. "Baiklah, perhatikan semuanya! Sudah cukup kita bersedih!"

Sejenak, suara isakan terhenti dan semua pandangan tertuju pada Louis.

"Untuk mengenang mereka yang telah tiada, kita adakan upacara pemakan untuk terkahir kalinya! Ingat! Terakhir kali! Jadi, setelah upacara berlangsung, aku harap--ah bukan-bukan, kita berharap tidak ada lagi nyawa yang direnggut!"

Sesaat keadaan hening, mata masih menatap Louis dengan sayu.

"Aku akan selalu bersama kelompok mu, Louis. Bukan hanya memakamkan jenazah mereka, namun melanjutkan tujuan mereka, itu juga penting!" Dengan suara tanpa keraguan sedikit pun, 10K melanjutkan perkataan Louis.

Dengan segera Viivi mengusap bekas air mata di pipinya dengan jari-jari lentiknya itu. Tanpa berucap, dia berjalan dan berdiri di samping Liam. Dengan senyuman kuat yang terpancar dari wajahnya, seolah mengatakan kepada lainnya kalau mereka pasti bisa. Semangat itu telah menyulut di dalam diri Alan, dia mengikuti Viivi dengan berdiri di sampingnya. Walau tertutup dengan masker yang ia gunakan, namun matanya yang agak menyipit mengatakan bahwa ia sedang tersenyum. 10K juga langsung berjalan ke samping Louis, dan diikuti oleh Harry juga Sofie.

"Bagus, ayo kita makam kan mereka di tempat mereka menghembuskan nafas terakhir," ujar Louis dengan suara agak serak.

Mereka semua mengangguk.

Liam ikut bersemangat, "Kenapa juga aku bersedih gara-gara pak tua itu? Cih! Seharusnya aku bersyukur, karena aku tidak akan mendengarkan omelan tak jelasnya itu. Dan ... dia tidak akan merasakan tertekan karena para zombie atau hewan mutan sialan,"  batinnya.

Orang-orang yang masih tersisa menguatkan diri dan tekad mereka, untuk tidak menyesal atas kejadian ini. Namun sebaliknya, mereka harus mengenang dan menyimpan masa-masa yang telah mereka semua lewatkan. Setidaknya wajah-wajah orang yang telah pergi, masih melekat di pikiran dan juga hati masing-masing.

Beberapa jam berlalu, upacara untuk terakhir kalinya telah selesai diadakan. Kuburan yang berjejer dengan nisan yang dibuat dari batu besar, juga barang-barang yang mereka 'orang telah tiada' bawa diletakkan di samping nisan tersebut. Mereka menundukkan kepala, berdoa yang terbaik, dan mengatakan hal-hal lainnya. Semua itu dilakukan dalam keheningan. Hanya suara semilir angin menerpa dedaunan. Membuat gesekan dan menghasilkan bunyi tak kentara.

"Apa semuanya sudah selesai?" Tanya Louis dengan memperhatikan masing-masing temannya. Viivi dan juga lainnya mendongak pertanda apa yang mereka ucapkan dalam hati telah selesai.

"Tujuan kita sekarang melanjutkan perjuangan Edwin sebelumnya bersama Liam. Oleh karena itu, kau dan Edwin akan pergi ke mana?"

" ... Laboratorium di Indonesia, darah ku adalah vaksin, jadi pak tentara itu akan membawa ku bandara. Entah apa namanya, tapi yang jelas darahku harus segera sampai ke lab. yang berada di Indonesia."

"Indonesia? Jauh sekali, hm ... bagaimana menurut kalian?"

"Aku setuju," tanpa menunggu lama, Louis telah mendapatkan jawaban dari Viivi. Diikuti Alan, Sofie, Harry, juga 10K.

"Kalau begitu, kita akan menuju banda--"

Belum sempat Louis melanjutkan perkataannya, suara helikopter berukuran besar terdengar sangat jelas di telinga mereka. Angin yang diakibatkan baling-baling benda itu membuat yang dibawahnya mengalami tekanan. Angin menerpa apa pun yang ada di bawahnya.

"Ah! Itu pasti orang-orang yang dimaksud Edwin!" teriak Liam.

"Apa?!" Harry angkat bicara.

"Edwin mengatakan bahwa, di bandara akan ada yang menjemput kami untuk di bawa ke Indonesia!"

"Syukurlah kalau begitu!"

Tali panjang yang berasal dari helikopter itu turun. Yang diikuti oleh beberapa orang-orang, mereka turun dan ternyata mereka semua adalah tentara. "Kami dari Indonesia, ingin membawa Liam, bersama kalian untuk dibawa ke Lab. Array," ujar salah satu dari mereka dengan tegas, sepertinya mereka sudah dipersiapkan untuk ini sebelumnya. Sifat tenang dan pelafalan bahasa Inggris mereka cukup baik.

"Itu aku, apakah kami bisa naik sekarang?"

"Silahkan."

Para tentara itu mempersilahkan Liam dan lainnya untuk naik, dilanjutkan dengan tiga tentara tersebut. Setelah mereka semuanya telah berada di dalam helikopter, benda itu langsung bergerak menjauh dari hutan dan menuju ke Indonesia.

Begitulah akhir dari perjalan dua kelompok yang menjadi satu. Tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan.

'Z' Hunter [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang