Kenyataan tak sesuai dengan perkiraan. Itulah yang Louis pelajari saat ini. Dia berpikir bahwa dirinya bisa menghabisi zombie besar berlapis baja yang saat ini ada di hadapannya. Dengan ancang-ancang menyerang persis seperti yang dilakukan Louis, mereka berlari ke arah satu sama lain dengan cepat. Saling menghantam lawan dengan tubuh mereka, semakin lama tubuh Louis terasa nyeri karena bertubrukan dengan baja.
Ingin rasanya sekedar menghela napas pelan, namun lawannya tak memberikan sedikit ruang untuk melakukan hal itu. Kesal juga marah menjadi satu dan di-ungkapkan melalui media pisau yang menggelantung di pinggang Louis. Menusuk-kan mata pisau itu ke sela-sela baja yang dikenakan lawan dan tepat mengenai lengan kiri. Tanpa mencabutnya, Louis langsung memperdalam tusukan itu dan menggerak-kannya ke bawah lantas mencabutnya dengan cepat. Ia mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang agar dia bisa bernapas. Terlihat lengan zombie itu menganga dan memperlihatkan benda putih yang biasa kita sebut tulang. Bukan hanya itu, belatung yang menggeliat dalam daging bekas tusukan itu keluar dan jatuh ke sana.
Ngeri? Tentu saja!
"Ugh, itu belatung?" Gumam Liam sambil merebahkan tubuh lemas Edwin di salah satu teras bangunan tak jauh dari sana.
"Kau tau? Itu menjijik-kan! Tapi apa yang akan kau lakukan dengan lengan hampir putus itu, heum?" Congkak Louis dengan memainkan pisaunya.
Zombie itu kembali berlari dan menyerang ke arah Louis, lengan yang hampir putus itu bergoyang dan akhirnya terlepas dari tempatnya. Melihat kesempatan itu, Liam menghampiri lawannya dengan berjalan santai namun agak cepat. Dalam pikirannya hanya ada kemenangan, kemenangan, dan kemenangan untuk saat ini.
Louis mengeratkan pegangannya pada gagang pisau itu, saat zombie besar mendekat, dia mengayunkan-nya ke belakang dan menusuk di sela-sela baja di antara wajah dan leher. Dia menusuknya dan membuat zombie itu tak bergerak beberapa saat lalu langsung terkapar di tanah. Dia mencabut pisau itu lantas meletak-kannya di aspal, membuka secara paksa baja yang berada di wajah zombie. Napas yang memburu terdengar jelas di telinganya, dengan sekali tarikan, baja yang menempel telah lepas dari tempatnya.
Terlihat wajah zombie itu berlubang di kedua pipinya. Saat melihat benda yang dia pegang, ternyata ada dua buah paku panjang di kedua sisi. "Ah, ternyata baja ini dipaku, tapi kenapa bisa? Jika membunuhnya saja sulit, bagaimana dengan menangkapnya hidup-hidup?" bingungnya lantas melempar benda itu ke sembarang arah.
"Aku harus menghancurkan kepalanya, bagaimana pun tak ada jaminan jika zombie ini akan bangkit kembali karena kepalanya tak berlubang atau hancur."
Louis mencari sebuah benda yang akan dia gunakan untuk menghancurkan kepala zombie itu, seakan sebuah keberuntungan, besi yang sempat dia bawa dan terjatuh ketika zombie itu menyerang, berada tak jauh darinya. Dia berjalan menghampiri besi itu, lolos dari pandangannya, zombie besar tadi berdiri dan mendekap tubuh kekar Louis. Walau hanya satu tangan, tenaga zombie itu sebanding dengan atlet sumo tingkat Internasional. Sehingga Louis kesusahan melepaskan diri.
Dengan meloncat ke sana dan ke mari, membuat zombie itu hampir terjungkal ke belakang. Namun tetap sama, tak ada perubahan. Dia masih terperangkap dalam dekapan zombie itu. Herannya, kenapa ia tak mengigit Louis? Bukannya baja yang menutupi wajahnya telah dicabut?
"Brengsek! Lepaskan aku!" Teriaknya sambil merogoh kantung celananya. Berharap menemukan senjata yang melepaskan dirinya.
Nihil.
Tidak ada benda apa pun di dalam sana. Louis mengumpat karena dirinya lupa menaruh pisaunya di mana. Dia kembali mencoba melepaskan diri dengan menjatuhkan zombie itu ke belakang. Tidak bisa berbuat banyak, Louis kembali berharap agar teman-temannya menolong dirinya. Walaupun kemungkinan besar tidak.
Dengan susah payah Louis menggiring dirinya juga zombie itu menuju sebuah rongsok-kan mobil yang dalam keadaan terbalik. Pada akhirnya, Louis berhasil dan dia kembali meloncat dengan keras ke ban mobil terbalik itu. Sesaat kakinya tergelincir di roda itu, namun dia kembali melakukannya lagi dan berhasil. Dia meloncat sekuat tenaga agar zombie itu terjungkal ke belakang dan Louis bisa lepas.
Tapi sayangnya tenaga milik zombie besar itu cukup besar. Tak mungkin hanya meloncat-loncat seperti orang mati dibungkus kain kafan bisa menjatuhkan zombie berbadan besar itu.
"Graa! ... graa!" Zombie itu seperti mengaum dan terdengar sedang memberikan isyarat kepada sesuatu. Entah apa, yang pasti tanah pijakan mereka bergetar.
Louis semakin panik, kali ini bukan hanya dirinya, tetapi Liam, Viivi, dan ketiga teman lainnya ikut khawatir. Tanah itu bergetar seperti sesuatu berbadan besar tengah berjalan menuju mereka.
"Zombie brengsek! Kenapa kau harus ada?! Kiamat zombie menyebalkan! Menyusahkan! Membuat orang-orang tak bersalah menjadi korban! Bajingan! Bangs*t!" Dia meluapkan amarahnya dengan kembali meloncat ke sana dan ke mari. Tetapi kali ini berbeda, ada beberapa umpatan yang selama ini tak bisa dia lontarkan. Ingin menahan luapan amarah itu, namun gagal.
Ke-empat teman Louis yang sendari tadi memperhatikan keduanya bertarung, bergegas menghampirinya. Mereka keluar dari mobil dan menodongkan senjata pada zombie itu. Kecuali Woti yang membantu Liam menggotong Edwin untuk memindahkannya ke dalam mobil.
"Kalian! Cepat bantu aku!" pinta Louis.
"K-kami pasti membantu mu, tapi kau berhenti dulu. Kami tidak bisa menembaknya kalau kau tetap bergerak," ujar Hevan.
Louis mengerti dan segera menghentikan aksi meloncatnya. Eh? Kenapa ... dia masih tetap bergerak?
"Argh, brengsek! Zombie ini ternyata mempunyai akal! Dia membuat ku bergerak ke sana ke mari agar kalian tidak bisa membunuhnya!" seru Louis. Ketika punggungnya berbunyi yang menandakan salah satu bagian tulang retak atau bergeser dari tempatnya, dia berteriak agak keras sambil menahan rasa sakit. Rasa yang seakan memakan dagingnya di dalam.
"Kau oke, Louis?" tanya Viivi.
"Kau tak mendengar ... suara tadi, huh?! Bagaimana aku baik-baik saja ketika tulang ku patah!" serunya.
Entah dalam keadaan segenting apa pun, Viivi mempertanyakan hal yang tak perlu dia tanyakan. Menyebalkan jika berada di posisi Louis sekarang.
J berusaha membidik kepala zombie itu, namun lawan yang akan dibidiknya menyadari dan dengan segera mungkin membuat Louis berada di depan J. "Oh shit! Dia zombie apa? Apakah dia dulunya seorang yang jenius? Bahkan setelah menjadi zombie pun otaknya masih bergungsi." Dengus J lantas menurunkan pistolnya.
"Ada apa?"
Tiba-tiba Woti dan Liam sudah berada di dekat mereka. Ketika melihat Louis yang masih terperangkap, Woti dengan segera menodongkan pistolnya ke arah kepala zombie itu, namun dengan cekatan Viivi menghentikan tujuan itu. "Kau gila? Jika sampai peluru itu menembus kepala Louis, dia bisa mati!"
"Ah, tanpa pikir panjang aku ... huft, lalu bagaimana selanjutnya? Tidak mungkin kita membiarkan ketua kelompok ini begitu saja 'kan?"
"Tentu tidak, aku akan menusu--"
Dor!
Dengan cepat sebuah peluru melesat dan melubangi kepala sang zombie. Dari tempat Hevan yang berada di sebelah kanan zombie, ia bisa melihat seseorang telah menembaknya. Tak diketahui identitas seseorang itu, ia langsung pergi begitu saja.
"Akhirnya aku bisa lepas juga, tapi tulang pung ... gung ... ku ... rasanya patah, ugh." Setelah itu Louis ambruk tak sadarkan diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
'Z' Hunter [✔]
Aksi[Fantasy] 'Mereka' muncul setelah bom nuklir diledakkan, yang mengakibatkan makhluk hidup terkena radiasi. Seharusnya mereka mati dan tak pernah hidup lagi, tapi kenapa?! Kenapa mereka malah hidup kembali dan menjadi ganas?! Sebenarnya ... apa yang...