Feelings
Selamat Mengangst
Seorang laki-laki bertubuh ramping, berkulit hitam dengan rambut bagai malam diikat rapi, mengenakan eyepatch berdiri di pinggir tebing sembari menggenggam sebuah kertas kosong dan pena. Manik birunya menatap langit, kapas-kapas yang mengambang di sana membuatnya ingin merasakan lembutnya kapas itu.
"Ya, Kaeya."
"Ah, Lumine ternyata itu kamu."
"Sedang apa?" tanya Lumine sambil duduk di sebelah Kaeya, lalu dia menggerakkan kedua kakinya maju-mundur.
"Membuat surat untuk seseorang."
Wajah datar bin jutek milik Lumine berubah, untuk pertama kalinya Kaeya melihat Lumine tersenyum jahil padanya, lalu terkikik kecil.
Akhir-akhir Lumine yang sering bersama dengannya, jalan-jalan keliling dari ujung sampai ujung lagi, hanya berdua. Selama Kaeya menulis surat itu tidak pernah ada jawaban menghampirinya, padahal Kaeya sudah menulis alamat dengan benar dan juga orang yang ditujunya tidaklah jauh.
"Kakak masih belum membalasnya?" tanya Lumine pada Kaeya lagi.
Senyum Kaeya pudar, sampai saat ini dia sama sekali belum mendapat balasan dari surat-suratnya, semua rasa cinta dan kangen ditumpahkan ke dalam surat itu, termasuk menceritakan petualangannya bersama dengan Lumine.
Kaeya membalas bertanya, "Kamu sendiri bagaimana? Apakah si muka datar Diluc itu juga sudah membalas puisimu yang macam lirik lagu?"
Pipi Lumine memerah seketika, pandangannya langsung ditarik ke arah yang lain, malu.
"Belum ada balasan, mungkin dia jijik dengan semua kata yang kutoreh diatas kertas itu."
"Adik manis Aether pesimis banget, ahahaha!"
"Ga lucu."
Kemudian Kaeya menepuk pundak Lumine, menyuruh pemilik manik oranye itu ke belakangnya, saat Lumine menengok ke belakang punggungnya dengan keras terhantam batu dan jatuh dari tebing.
"TRENGGILING SIALAN!"
"Jangan lup--"
Setelah itu Kaeya yang diseruduk sampai jatuh.
Sudah dua tahun Kaeya membuat surat-surat itu, mengirimkannya namun tidak ada satupun yang dibalas olehnya, ketika kotak ada seseorang yang mengantarkan surat padanya hanya mendapat surat tagihan listrik, air dan lain sebagainya.
Tidak ada balasan surat satupun dari Aether, termasuk Lumine, bertahun-tahun mengirimkan perasaannya pada Diluc masih saja belum ada balasan, meskipun begitu Lumine masih setia menunggu balasan.
Keduanya juga berkelana Teyvat bersama berusaha untuk melupakan penantian balasan surat dari yang mereka kirimkan setiap hari, setiap waktu, menjalankan misi kecil-kecillan, menolong orang dan berfoto bersama dengan Pallad yang sedang dibuli oleh Hilicurl.
"KAEYAAAA! RUIN GUARDNYA UDAH MULAI MUTER!!"
"LARIII!!--UGWAHHH!"
"Kaeya!"
Bugh! keduanya terkena serangan ruin guard dan melayang jauh.
Malamnya mereka berkemah di dekat Temple Thousand Wind. Keduanya menorehkan pengalaman tadi siang ke dalam sebuah kertas, di tengah sibuknya mereka, angin kencang berhembus dan menerbangkan kertas ditangan mereka.
"Ahhh ... padahal belum selesai," gumam Lumine.
"Tenang saja, mungkin angin ini yang akan membawa perasaan kita pada mereka berdua."
"Hmmm...."
"Sudahlah jangan memasang wajah sedih seperti itu, kamu bisa menulisnya lagi di kertas yang baru."
"Bukan soal itu, akhir-akhir ini aku seperti melupakan sesuatu."
"Sesuatu?"
"Iya, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya."
"Gimana kalau jalan-jalan sebentar? Menghirup udara dan menikmati langit penuh bintang ini? Siapa tahu kamu akan ingat."
"Benar juga." Lumine bangkit dari duduknya.
"Lumine!"
Tubuh Lumine seakan membeku ketika suara Diluc yang meneriakkan namanya terngiang di kepalanya.
"Apa tadi?"
"Ada apa Lumine? Sudah mulai ingat?"
Lumine menggeleng pelan dan mulai berjalan menjauhi tempat berkemah.
"Sebenarnya apa yang terjadi waktu itu...."
Lumine berjalan-jalan dan tak sengaja dia melihat seorang laki-laki sedang duduk diatas bebatuan sembari menatap langit, raut wajahnya begitu sedih, angin sepoi-sepoi menerpa.
"Diluc?" Lumine berlari menuju laki-laki dengan senyum diwajahnya,namun ketika dia mau menepuk Diluc, tangan Lumine menembus tubuhnya. Lumine sangat terkejut, seketika memori yang ingin diingatnya kembali pada dirinya.
"Eh? Aku sudah mati?" air mata mengalir dengan deras dari kedua matanya. "Tidak mungkin...." Lumine berjalan mundur. "Aku terbunuh ketika ... menyelamatkan Diluc dari serangan Chil ... de...."
Lumine jatuh berlutut, dia melihat kedua tangannya, transparan. Lumine tertawa. "Ini mengapa? Suratku tidak pernah dibalas olehnya? Aku sudah...." Untuk terkahir kalinha Lumine tersenyum.
"Diluc, sampai jumpa."
---
"Hmmm ... Lumine kemana ya? Lama sekali."
Kaeya setia menunggu Lumine di perkemahan namun sudah 15 menit berlalu belum juga kembali.
"Apakah dia diserang sama monster?aku terlalu berpikir berlebihan." Kaeya berdiri. "Lebih baik aku juga jalan-jalan di sekitar sini, aku ingin mencari beri."
Sedang mencari-cari beri Kaeya tidak sengaja bertemu dengan Aether, Kaeya sendiri tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat seperti ini.
"Yo!" menyapa Aether dengan senyum.
"Kaeya, akhirnya kutemukan kau."
Kaeya terkejut. "Maksudmu? Apakah suratku sampai padamu?"
Aether tersenyum miring, senyum itu cukup untuk mewakili semua kata yang ingin dia lontarkan pada Kaeya.
"Aether?" Kaeya bingung melihat Aether, dia tambah bingung ketika melihat Aether menangis.
"Maaf."
"Kenapa kamu--"
"Salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah membunuh dia, Aether."
Mulut Kaeya tertutup rapat, dia mengulas senyum.
"Tidak usah minta maaf, akulah yang telah membuatmu terluka."
"Kaeya, apakah kita akan bertemu lagi?!"
"Tentu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesarapan Anak Genshin |Genshin FANFICTION|
Fiksi PenggemarREUPLOAD! MAU BERSIHIN CHAPTER DARI FANART YANG GA ADA CREDITNYA Warning: kerenyes kranci, OOC, genre berbeda tiap chap mungkin, IMAJINASI HARUS TINGGI KALI LUAS! AWAS TYPO! CERITANYA MAKIN LAMA MAKIN ABSURD! Membaca cerita ini jangan menggunakan lo...