Jihan sudah selesai bercerita. Sekarang kedua remaja itu hanya mengisi detik yang tersisa dalam keheningan. Seakan masing-masing larut dengan pikirannya sendiri.
Hingga tak lama Justin memecah kesunyian,
"Kamu nggak apa-apa nyeritain soal ini sama aku?"
Jeda sejenak, Jihan pun membalas, "Sebenarnya susah sih. Apalagi terakhir kali aku jujur ngomongin ini, respon orang-orang malah lebih menakutkan."
"Maaf."
Jihan menggeleng. Lalu memandang Justin, "Nggak apa. Kalau sama kamu, aku bisa percaya."
Senyuman Jihan tersungging simpul. Membuat Justin yang melihatnya jadi ikut tertegun.
Hingga sekon selanjutnya gantian Justin yang juga tersenyum, "Berarti sekarang aku udah boleh ngedeketin kamu lagi?"
"Emangnya kamu pernah nurut kalau aku suruh menjauh?"
"Iya sih."
Kekehan kecil lantas tersiar dari keduanya.
"Tin, kamu masih suka sama aku?"
Justin sedikit terperangah karena pertanyaan tiba-tiba dari Jihan. Tak mampu membalas, ujungnya hanya gumaman samar yang terdengar dari bibir lelaki itu.
"Hm..."
"Kamu berhak dapetin cewek yang lebih baik, Tin," lanjut Jihan, "Aku nggak pantes buat kamu."
"Kenapa mikir gitu? Karena kamu pernah jadi korban?"
Jihan mengangguk sambil menunduk. Enggan mempertemukan maniknya dengan milik Justin.
"Buat aku, kamu cewek yang baik kok, Han. Semua orang itu punya aib. Nggak ada yang sempurna," kata Justin, "Dan jujur, padahal awalnya aku ngedeketin kamu emang buat jadi pacar. Tapi setelah tau masalah kamu, aku malah berubah niat. Sekarang, aku cuma pengen melindungi kamu. Sebagai teman juga nggak masalah, kalau boleh?"
Mungkin Tuhan itu memang adil. Disaat Jihan merasa kehilangan alasan untuk bertahan hidup, ia bertemu dengan Justin. Sepertinya tidak berlebihan jika Jihan menyebut Justin sebagai malaikat penyelamatnya.
"Makasih banyak ya, Justin. Selalu, makasih."
"Ada siapa itu?"
Obrolan mereka terinterupsi berkat seruan tiba-tiba dari arah pintu. Dengan cepat Justin langsung menarik Jihan. Kemudian bersembunyi di sebalik dinding pada sisi bangunan.
Karena posisi keduanya yang kebetulan saling berhadapan, Jihan sempat merasa gugup. Terlebih saat Justin tak sengaja menurunkan wajahnya. Berniat menutupi presensi mereka dari pandangan satpam yang sedang berpatroli. Namun tanpa Justin sadari. Gerakan itu justru membuat jarak antara dia dan Jihan menjadi lebih sempit.
"Anjir, kalau ketauan bisa mampus nih. Buruan pergi ngapa pak." gerutu Justin pelan.
Sementara Jihan lebih sibuk mengatur detak jantungnya yang mendadak berdebar tak karuan. Sampai di sekon ketika Justin menoleh. Lalu sadar jika posisi mereka terlalu dekat.
Keduanya lantas terdiam. Canggung. Justin beberapa kali membasahi bibirnya sendiri. Gugup. Pun demikian dengan Jihan yang bahkan tanpa sadar mengerjap dua kali lebih cepat dari biasanya.
"B-bentar ya, m-masih ada pak satpam..." gumam Justin terbata. Jihan mengangguk.
Justin pikir berada dalam jarak tiga senti dari Jihan sudah cukup membuat jantungnya bergemuruh, namun keadaan itu ternyata bisa lebih parah begitu Jihan tiba-tiba melingkarkan lengannya ke pinggang Justin. Lalu membenamkan wajahnya ke dada si lelaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Bubblegum
FanfictionKetika Justin yang hanya berniat menggebet malah ikut terseret dalam lingkar hidup Jihan. written on: Nov 8, 2020 - March 26, 2021. ©RoxyRough