🎐 Bonus Chapter 🎐

5.1K 840 223
                                    

Ujian kenaikan kelas sudah dilewati. Sekarang Justin dan kawan-kawannya sedang berada di tingkat tertinggi pada jenjang sekolah menengah atas mereka. Beruntung kelasnya tidak lagi diacak jadi Justin masih bisa bertemu dengan warga IPS3 selama dua semester kedepan.

Belakangan ini obrolan yang kerap terdengar di lingkaran para murid kelas tiga adalah seputar visi setelah tamat sekolah. Guru BK mulai gencar membagikan portofolio pada anak-anak, mengenai sasaran masa depan mereka.

Rata-rata pembagiannya adalah disisi, lanjut kuliah atau langsung bekerja. Dua-duanya baik. Guru-guru hanya membantu siswa untuk tetap produktif setamat SMA.

Namun memikirkan masa depan sebenarnya tidak semudah itu. Bahkan orang dewasa pun masih ada yang belum tau apa tujuan dari hidup mereka. That's such a complicated question.

"Kamu mau lanjut kuliah?"

Jihan bertanya pada Justin yang masih memutar-mutar pena dijemarinya dengan satu tangan menumpu kepala di atas meja. Justin menoleh dari posisinya lalu bergumam tidak yakin.

"Mungkin...?"

"Udah tau ngambil jurusan apa?"

"Kalau kamu maunya ngambil apa?"

Jihan menyebik, "Aku kan nanya kamu duluan."

Membuat Justin tertawa pelan, "Ya jawab aja dong. Aku mau ngikut pilihan kamu."

"Dih, dasar bucin." cibir Jihan. Gadis itu beralih berpikir sebentar sebelum lanjut berkata, "Kayaknya aku mau ngambil kuliah bisnis."

"Aku juga deh. Biar bisa membangun perusahan bersama kamu."

Terbiasa, Jihan hanya membalas ucapan Justin dengan tepukan pelan. Lalu keduanya kembali menulis pada lembar portofolio BK.

Jihan sudah selesai menulis. Kemudian ia beralih memandang si teman sebangku yang masih serius menulis di lembarannya.

Sampai Justin akhirnya tersadar bahwa tatapan Jihan tertuju cukup lama padanya. Lantas Justin menaikkan pandangan, menoleh ke arah Jihan sembari mengulum senyum.

"Kenapa sih? gitu amat dah merhatiin pacarnya?"

Jihan balas tersenyum pula, "Suka aja kalo liat kamu lagi nulis. Soalnya kamu nulisnya pake tangan kiri."

"Yaa namanya juga kidal."

"Mirip."

"Mirip apaa?" sungut Justin seolah sudah menebak arah kalimat Jihan, "Kidal ya cintaa bukan kadal. Jokes kamu bapack bapack sekali."

"Siapa juga yang bilang kadal ih haha"

Jihan mengelak tapi ia mengatakannya dalam tawa. Sekian bulan jadian Justin jadi tahu kalau Jihan ternyata tidak sekalem itu anaknya. Malahan ia amat jahil, terutama perihal meledek Justin.

"Kamu mau gak aku ajarin biar bisa jago make tangan kiri?" tanya Justin.

"Keuntungannya apa?"

"Keren."

"Kamu merasa keren?"

"Emang menurut kamu, aku gak keren?"

Boomerang. Giliran Jihan yang mengulum bibir. Terdeteksi kalah dalam membalas argumen Justin, Jihan memilih opsi hening.

Namun Justin memanfaatkan celah ini untuk serangan balik. Sambil tersenyum dia bergerak menyenggol pelan bahu Jihan dengan bahunya, "Han? Kok malah diem?"

"Hng.... i-iya... kamu keren..."

Setelah itu Jihan langsung nutupin mukanya pake buku tulis. Malu. Buat Justin gemesin. Jadi lelaki itu tetap meneruskan momen yang ada.

[✔️] BubblegumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang