🎐 Elegi dalam Memori

3K 816 122
                                    

"Han, lo ikut olahraga?"

Vanesa bertanya begitu melihat sosok Jihan berdiri bersama anak-anak yang lain di lapangan hari itu. Setelah tiga kali tatap muka ia tak hadir, wajar jika beberapa anak kelas menatapnya dengan canggung.

Tapi yang lebih membuat Jihan mengernyit adalah karena lanjutan dari pertanyaan Vanesa, "Udah nggak apa-apa?"

"Emang aku kenapa?" balas Jihan bingung.

"Kan katanya Justin maag lo kambuh dari kemaren kemaren jadi belum bisa ikut olahraga."

Jihan sedikit melebarkan pupilnya. Sadar jika Justin benar-benar telah membantunya selama ini.

"O-oh, iya, udah baikan kok, Nes." timpal Jihan, "nggak enak juga udah tiga kali nggak masuk."

"Iya sih. Tapi bagus lo bisa masuk sekarang, soalnya Pak Dean mau ngambil nilai basket." timbrung Erina.

Membuat Jihan kembali terkejut, "Ngambil nilai?"

Belum sempat terlepas dari kekagetannya, Pak Dean sudah berdiri di depan para murid. Lengkap dengan pakaian olahraga dan buku absen ditangannya.

Begitu memandang presensi beliau, degup jantung Jihan mulai berdetak kencang. Teramat kencang sampai semua syaraf ditubuhnya mendadak mati rasa.

"Han, Han, lo belum pernah ketemu sama Pak Dean ya pantesan cengo gitu. Cakeb banget kan?" sikut Martha menyadari perubahan ekspresi Jihan. Sayang dia berasumsi yang berbeda.

Jihan hanya mengangguk, menutupi kejanggalan dari sikapnya sendiri. Meski tanpa ada yang tahu, nafasnya perlahan mulai terasa tercekat.

Di depan sana, Pak Dean masih tampak sibuk memanggil beberapa nama murid di kelas IPS 3 untuk diabsen. Sampai kemudian ia tiba di nama Jihan,

"Jihan Fidelia." panggil Pak Dean.

Dan di detik itu Jihan sudah benar-benar berada di puncak kecemasan. Keringat dingin memenuhi dahinya. Jangankan mengangkat tangan, untuk bersuara pun ia tak mampu lagi.

"Jihan mana? Ada gak orangnya?" ulang Pak Dean.

Sebelum semua atensi bertumpu padanya, seseorang lebih dulu memegang lengan Jihan kemudian membantu gadis itu untuk mengangkat tangannya sendiri. Sontak Jihan menoleh dan mendapati Justin berdiri tepat di belakangnya.

"Oh kamu yang namanya Jihan? Anak baru itu ya?" tanya Pak Dean membuat pandangan Jihan kembali ke depan lagi. Dia lalu mengangguk pelan.

Pak Dean sebenarnya masih ingin melanjutkan konversasi namun beliau urungkan karena suatu hal. Sebagai gantinya, pria itu justru menunjuk sosok di belakang Jihan dengan telunjuknya.

"Justin kamu ngapain di belakang Jihan?"

"Numpang neduh, Pak. Panas." balas Justin asal. 

"Ngaco kamu! Baris yang benar!"

Berkat teguran itu pula, Vanesa dan kawan-kawan jadi ikut melihat ke arah mereka.

"Buset sejak kapan lagi Tin lo disini???"

"Tau ih perasaan tadi gak ada orang dibelakang Jihan."

"Horor sumpah lu, Tin."

Dan beberapa kalimat takjub dari teman-temannya mengiringi Justin yang sekarang sudah berpindah tempat ke samping Jihan. Pak Dean lalu menepuk tangannya seolah meminta fokus siswa kembali padanya lagi. Setelah suasana kondusif, barulah beliau melanjutkan kegiatan absen-mengabsen.

Sementara itu Justin dan Jihan sempat berpandangan. Tidak ada pembicaraan atau pun gesture bibir yang mengawali. Namun sekilas senyuman simpul dari Justin cukup mampu membuat Jihan merasa jauh lebih tenang.

[✔️] BubblegumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang