Alasan atas rasa.

139 34 8
                                    

Sebenarnya ada masalah apa? Sebetulnya ada dendam apa? Yang selalu jadi pertanyaan, kenapa aku tidak pernah seberuntung mereka yang di luar sana. Mengapa aku selalu sulit mendapatkan cinta kasih ataupun kebahagiaan yang tetap. Dan mengapa aku lagi yang selalu merasakan pahitnya sebuah kenyataan yang tidak pernah sejalan dengan perkiraan.

Kenapa aku harus di hadirkan di dunia yang sangat kejam seperti ini?

Apa kalian punya rekomendasi dunia terbaik yang bisa membuatku bahagia di dalamnya?

Adakah?

Adakah dunia yang di dalamnya terdapat kasih sayang dari seorang ayah? Atau tidak, bisa kalian ceritakan senangnya mendapatkan hal itu kepadaku? Aku mohon. Aku ingin merasakannya, meskipun hanya terdapat dalam sebuah cerita semata. Akan ku pakai sebagai dongeng pengantar tidur. Agar mimpiku lebih indah, sebagai obat lelah karena selalu bergulat batin dengan realita yang menyiksa.

Kiranya seperti itulah rutukan demi rutukan yang selalu saja terdengung dalam hati Cakra. Dia belum bisa menemukan jawaban, bahkan akhir dari cerita ini. Apakah masih panjang? Oh haruskah dia berperan lebih lama lagi? Jujur, peran yang sedang dia mainkan sangatlah sakit. Mengiris hati kecilnya dengan sadis.

Tapi sekarang, kegalauan hatinya dia tutup sampai disini untuk sementara. Ada sesuatu yang membuat dia harus beranjak dari kasur dengan sifatnya yang personal. Cakra melepas helm dan di kaitkan pada spion motor. Menghela nafas panjang seraya merapihkan rambut yang acak-acakkan.

Dia menatap entah tatapan apa namanya, yang jelas raut wajahnya sedikit ragu untuk lanjut melangkah. Nafasnya tercekat, dia bahkan terpaksa meneguk saliva susah payah ketika melihat rumah besar nan megah berwarna putih di hadapan. Rumah siapa? Bukan rumah siapa-siapa, hanya rumah Rigal.

"Emang ya, segala sesuatu yang di paksain itu ga enak." Keluh Cakra mungkin pada angin yang tidak kasat mata.

Kemudian dia kembali menghela nafas panjang dan bergumam. "Hahh udahlah. Enak ga enak, enakin aja."

Dengan nyali yang hanya 50% Cakra berjalan dengan kedua tangan yang di masukan ke dalam saku jaket kulit berwarna hitam. Wajahnya rileks, tapi jika kalian tahu bunyi detak jantunya, sungguh tidak berirama. Detak jantung Cakra berdegub kian membara lebih dari sebelumnya. Bahkan lebih dari ketika dia memenangkan undian mingguan di bengkel tempat kerja. Hah.

Saat sampai di ambang pintu, Cakra membalikkan tubuh. Memegang dadanya dan mengatur nafas untuk menetralkan detak jantung. Cakra menggelengkan kepala. Rumah itu sudah mirip rumah horor. Sangat ber-damage!

"Namu doang rasanya udah kayak mau lamar anak orang. Dangdutan jantung gue sob!"

"Mana lagunya belah duren lagi."

"Tutor ngetok pintu gimana? Pake tangan aja apa pake bedug masjid?"

"Ahh terobos Cak!" Cakra mengacak-ngacak rambut frustasi.

"SHIT!"

Belum apa-apa, Cakra di buat terkejut karena seseorang tiba-tiba menarik jaketnya dari belakang. Dia menyeret Cakra sampai masuk ke dalam rumah dengan sangat kasar. Setelah berada di dalam, orang itu menghempaskan Cakra. Sampai punggung Cakra membentur tembok.

Nyatanya patah tulang lebih sakit daripada patah hati men. Jangan sampe, auhh -batin Cakra.

Cakra mengembungkan pipi, menahan keluhan sakit atas tulang belakangnya yang terbentur dinding. Rigal memang selalu kasar. Bisa tidak dia itu santai sejenak. Menyebalkan.

Rigal melepas ikat pinggang yang tadi bertengger manis melingkar di celana dinasnya. Kemudian ikat pinggang itu melayang, dan mendarat tepat di pipi kiri Cakra.

Waktu ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang