05. Rencana dan Konsekuensi

179 14 0
                                    

Rencana


▫▫▫


Kalau Kala telisik lebih jauh, hidupnya itu jauh dari kata bahagia. Entah salahnya atau salah takdir yang menimpanya. Tentu saja salahnya yang tidak mau mensyukuri apa yang ia punya.

Hidupnya terlampau lurus, bagi mereka yang hanya melihat. Tetapi terlampau berliku bagi dirinya yang menghadapi. Semesta memang sebaik itu untuk membuatnya merasa tidak dimengerti dan terasa seperti di kucilkan.

Kejadian lampau masih tergantung indah di ingatannya, memaksa diingat kala ia mulai merasa lelah. Keadaannya tidak akan merenggang seperti sekarang andai saja ia lebih memilih berkomunikasi kala itu.

Salahnya yang sudah mengkhianati perasaan kelima saudaranya. Salahnya tak mau berkomunikasi lebih. Salahnya.

Andai waktu bisa diulang, ia tak mau menanggung kebohongan yang orang tuanya minta saat itu. Ia tak akan sudi mengikuti permainan bodoh orang tuanya tanpa menyadari bahwa permainan lainnya menyambut keluarga mereka di kemudian hari. Permainan sembunyi dalam topeng tak pernah semenyangkan itu.

Cakrawala menampilkan titik putih jutaan tahun lalu, membuatnya menarik diri menuju keadaannya saat ini. Sama halnya dengan yang lalu, ia kembali melakukan hal bodoh lagi.

Rasanya ia ingin bertukar nasib saja dengan ribuan bintang di atas sana. Yang masa lalunya berbekas indah hingga saat ini. Tapi apa daya, Kala bukanlah Tuhan yang dengan membalikkan telapak tangan mampu mengubah segalanya.

Ditangannya bertengger kertas dengan logo instansi terkenal di kotanya, tulisan formal tertata rapih menyimpulkan hal yang tak mau ia percayai semenjak setahun silam. Lagi, selama setahun ini ia dipaksa berbohong kepada keluarganya. Mengorbankan harapannya hanya untuk kemungkinan buruk.

"Harusnya jujur aja"

Kala menghembuaskan nafasnya samar, sayang sekali beban di bahunya tak berkurang.

"La, jujur sebelum terlambat. Lo nggak mau makin renggang kan sama mereka"

"Lo nggak tau rasanya, Hen"

"Lo bikin mereka kecewa secara sadar La. Lo nggak tau rasanya jadi mereka"

Kala menatap lawan bicaranya lekat, hanya Mahen, hanya Mahen yang menjadi teman bicara. Sekalipun seseorang memiliki hak yang sama dengan lelaki dihadapannya, tetap Mahen yang mampu mendengarkan juga berbicara sesuai dengan yang ia butuhkan.

Kala menurunkan pandangannya pada secangkir penuh kopi panas yang Mahen pesanankan untuknya, pikirannya berkelana, malam ini kepalanya terlampau berat menopang pikiran - pikiran tanpa ujung didalamnya.

"Gue.. Gue bisa Hen?"

Mahen mengernyit "Kenapa juga lo harus nggak bisa, La? Lo bisa. Percaya sama diri lo sendiri"

"Lo yakin?"

Manik mereka kembali bersitatap, ada yang yakin juga meyakinkan.

"Yakin. Makannya lo juga harus yakin"

"Kalau mereka nggak berubah?"

AbimanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang