23. Pahlawan Kesorean

68 9 0
                                    

   Pahlawan Kesorean


---



Sore itu Kala sedang memanjakan kakinya di trotoar menuju kompleknya. Jika ditilik dari pemandangan sekitarnya, jarak antara dirinya dan rumahnya masih cukup jauh.

Apalagi niat awalnya ia sengaja melewati jalan memutar untuk menikmati sepoi polusi di penghujung hari.

Tapi niat suka sekali bercanda dengan realita, bannya bocor tepat ketika ia mengantar partner kerjanya di kostannya. Berakhir dengan ia menyerahkan motornya di kostan untuk ia ambil besok.

Dan beginilah nasib Kala, lontang lantung di pinggir jalan menikmati senja yang menyapa.

Kala bukan anak indie yang berkorelasi erat dengan senja. Dia hanya menyukai waktu dimana ia dan Juanda terlahir dan dimana penghujung hari berakhir. Semburat oranye itu penuh makna dan rasa. Mengangkat rasa lelah yang hinggap hari ini perlahan ketika Kala mulai menikmatinya.

Sengaja tak memesan ojek atau meminta salah satu saudaranya menjemput, tak masalah harus menempuh satu jam perjalanan manual karena hari ini Kala sedang ingin.

Pekerjaannya memberat karena harus mengurus bisnis rumah makan milik Ibunya, tidak terpaksa, tapi keluh selalu menjadi ujungnya.

Menjadi drafter di perusahaan individual cukup menguras energinya, lalu ditambah dengan urusan rumah makan yang tiap malam harus ia urus pembukuan akhirnya. Meskipun dibantu oleh Nanda dan Juanda yang memilih turun langsung ke lapangan hampir tiap hari.

Semuanya melelahkan dan semua lelah. Kala juga merasa tak enak hati melihat Nanda yang ikut bekerja keras bersamanya. Padahal seharusnya anak itu ikut bersenang - senang dengan teman - temannya atau menekuni hobi fotografinya.

Tapi dengan lantang laki - laki dengan gigi kelinci itu berkata 'ini usaha yang kata Ibu dan kalian bakal diwarisin ke aku, jadi nggak masalah kalau aku ikut turun sekarang. Itung - itung mulai belajar'

Iya sih betul, mengingat hanya Nanda yang mampu memasak dengan cita rasa mirip dengan Ibu. Membuat saudara yang lain menyuruh Ibu untuk mewariskan saja restoran dengan banyak cabang itu pada Nanda.

Semudah itu mereka merelakan warisan milik Ibu.

Kala menyipitkan matanya ketika ia melihat seseorang yang tengah berenang dibenaknya berada tak jauh darinya sedang menatap kosong jalanan didepannya.

Panjang umur, batinnya.

Kala segera menghampiri tanpa ragu, sampai ia terduduk di kursi sebelahnya pun Nanda tak bergeming. Membuat Kala membiarkan anak itu menikmati lamunanya, sedangkan ia mengamati paras sempurna adiknya dalam diam.

Tepat dimenit ke lima Nanda menghela nafas berat dan mengalihkan pandangannya ke meja minimarket yang dipenuhi jajanannya, kemudian terlonjak mendapati presensi gadis berkucir kuda duduk di sampingnya.

"Kaget banget kayaknya"

"Ya menurut Kakak?!"

Kala terkekeh mendengar suara ketus Nanda yang masih sibuk mengelus dadanya. Padahal anak itu bukan tipikal yang sekalipun bom meledak disampingnya ia akan terlonjak penuh keterkejutan.

"Mikirin apa sih?"

"Capek aja" jawab Nanda dengan tatapan mengawang di aspal depan mereka.

Untuk pertama kalinya pula Kala mendengar keluhan Nanda. Bukannya apa, tetapi adik ketiganya itu cenderung membungkam dirinya jika dilanda masalah dibanding menyalurkannya pada saudara - saudaranya. Ia akan datang bukan untuk membagi keluhnya, ia datang untuk mencari sembuhnya.

AbimanyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang