Dua belas

547 69 0
                                    

Happy reading!

Happy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku bodoh. Seharusnya dari awal aku tahu, aku hanya opsi ke dua. Lebih bodoh lagi, aku malah berharap lebih padanya."

-Jessica.


"Hai."

Jessica menoleh, menatap kedatangan orang yang ia tunggu-tunggu selama satu jam lebih. Ia tersenyum dan menyapa balik.

"Sorry ya, lama."

Rania yang sudah geram, ia terduduk tegak dengan sendirinya. Menatap orang yang baru saja duduk di hadapannya itu dengan tatapan sengit. "Heh, kita udah lama--"

Rania kalah. Jessica sudah membekap mulut Rania rapat-rapat agar mulutnya berhenti berbicara yang tidak-tidak. "Nggak kok Jep, baru dua puluh menitan doang." Jawab Jessica sembari tersenyum kecut.

"Oh, bagus deh kalo kalian nggak nunggu lama." Rania melotot, batinnya ingin menjawab 'emang udah lama nunggu goblok!' yah, mungkin jika mulutnya tak dikunci oleh tangan Jessica. Ia sudah menjawab demikian.

"Gue takutnya kalian udah lama nunggu, soalnya gue yang buat janji jam dan malah gue sendiri yang telat." Jeffan merasa bersalah.

"Emang lo habis dari mana?" Tanya Jessica penasaran. Tentu, ia penasaran dengan apa saja yang Jeffan lakukan sebelum datang kesini.

"Gue habis latihan di rumah Kila."

Jessica mematung mendengar itu. Tangan kiri yang digunakan untuk membekap mulut Rania terlepas begitu saja. Tubuhnya yang semangat karena Jeffan sudah datang berubah menjadi lemas kembali.

Seharusnya ia tak berharap lebih dengan menunggu kedatangan Jeffan. Jika Jeffan disuruh memilih, pastilah ia akan mengutamakan Aqeela terlebih dahulu walaupun mereka mempunyai janji dengan Jessica.

"Oh," Jessica tersenyum kecut, mencoba menerimanya. Bagaimanapun, ia juga tak bisa menyalahkan sahabatnya itu. Aqeela juga tak mungkin mencegah Jeffan untuk datang kemari. Jadi, keterlambatan Jeffan bukan salah Aqeela. "Harusnya kalo lo nggak bisa, lo telfon gue aja."

Jeffan menggeleng cepat, "nggak kok, latihannya emang udah selesai. Tadi, gue lupa aja. Makanya gue telat, sorry ya." Ucapnya lagi.

Jessica memulai aksinya, ia tersenyum paksa demi membuat Jeffan tak merasa bersalah lagi. Ia menaikkan kedua alisnya, "yah, of course. Nggak papa, no problem." Jawab Jessica seadanya.

Gadis itu memang pandai menyembunyikan cemburunya...

Rania menggeleng kan kepala, melihat betapa sabarnya Jessica menyikapi sifat Jeffan yang seenaknya. Bahkan berani berbohong soal waktu berapa lama mereka menunggunya.

Tunggu, sabar atau bodoh?

Bahkan gadis ramah seperti Rania bisa membedakan keduanya. "Makanya, pasang alarm di HP. Ada janji sama siapa aja, biar kita nggak kelamaan nunggu. Untung nggak lama banget." Rania terasa pahit mengucapkan kalimat akhirnya.

Jeffan meringis, "iya, kan gue udah minta maaf." Balas cowok itu.

Jeffan menatap Jessica, wajah ceria yang biasa ia lihat kini berbeda. Wajahnya terlihat lesu. "Yuda mana?" Tanya Jeffan, membangunkan suasana canggung antara keduanya.

"Udah balik dia, katanya kelamaan nunggu lo."

"Yah, balik? Ya udah deh, kita bikin berdua aja. Yuda nggak usah diikutin team kita." Putus Jeffan cepat. Merasa aneh dengan suara Jessica yang lemas. "Gimana?"

Jessica mengangguk.

"Biarin aja dia nggak dapet nilai, yang penting kita dapet nilai. Gue yakin, nilai kita bakal lebih gede dari team nya Rassya sama Aqeela." Ucapnya penuh semangat.

Mulailah kegiatan mereka malam ini, hingga hampir larut datang. Jessica yang masih memikirkan tentang kebersamaan Jeffan dan Aqeela sore tadi. Dan Jeffan yang masih semangat membara membuat belajar kelompok mereka sedikit lebih asyik juga ramai.

---

Rassya menutup buku nya, mengakhiri kegiatan membacanya karena sang Ibunda yang terus cerewet. Meletakkan bukunya di atas nakas sebelah ranjangnya.

"Aturan sih memang kurang lebih seminggu, tapi karena tadi udah sempet diurut jadi insyaAllah bakal lebih cepet proses penyembuhannya. Berdoa aja, Bu." Dokter itu menutup kotak perbannya. Mendongak sebentar untuk menatap wajah Mamah Rassya.

Rassya menatap kakinya yang sudah terbungkus perban berwarna putih. Begitu pasrah soal sakitnya. "Tiga hari bisa, Dok?"

Dokter itu menoleh pada Rassya lalu mengangguk, "tapi belum sembuh total, palingan lima hari baru udah bisa jalan normal."

Rassya berdecak, sial.

"Makasih ya, Dok." Setelah itu, sang Dokter pergi keluar dari kamar Rassya setelah penawaran diri dari Bi Inah untuk mengantar lelaki berjas putih itu keluar dari rumahnya.

"Siapa yang ngurut kamu, Ca?" Rashana duduk di tepi ranjang sebelah Rassya. Masih terlihat raut wajah khawatir di sana seperti tadi saat pertama kali melihat Rassya pulang dengan luka yang parah.

"Kak Rey."

"Bilang makasih sama dia. Ini juga, luka lecet kamu kalo nggak cepet dibersihin darahnya nanti pasti bisa infeksi. Bersyukur kamu, lukanya nggak kenapa-kenapa. Kamu sempet ke klinik ya tadi? Buat bersihin lukanya?"

Rassya menggeleng, "si Macan yang ngobatin." Jawabnya, terlihat kesal jika mengingat siapa yang sudah menendang lukanya sore tadi.

"Macan?"

Rassya membuang napas berat, "Aqeela, Mah." Jawabnya agar sang Mamah tak terlihat bingung. Rashana hanya mengangguk.

"Kalo sampe besok kaki kamu masih nyeri dibawa jalan, mending izin aja ya."

Rassya menggeleng, "nggak deh." Tolak nya. "Masih bisa kok dibawa jalan, kalo pun susah kan ada tongkat kaki Mah." Rassya mencoba meyakinkan. Tak mungkin hanya masalah kaki ia menjadi izin, ia tak mau itu terjadi. Dan yang pasti, Aqeela akan merasa senang karena ketidak berangkatan Rassya ke sekolah. Membuatnya mengambil kesempatan untuk merebut nilai-nilai tinggi.

"Sehari aja, Ca. Kamu juga kan nggak pernah izin selama ini, pasti guru-guru ngertiin kok."

"Rassya bilang nggak mau, ya nggak mau Mah. Udah yah, Mamah nggak usah khawatir lagi. Udah kebal Aca tadi dengerin Mamah ngomel. Jangan ngomel lagi, yah. Please." Ucapnya selembut mungkin. Di sisi lain memang ia tak mau Mamahnya bertambah khawatir.

"Ya gimana Mamah nggak khawatir. Kamu pamit latihan, pulang-pulang udah lecet kaya gini sampe tadi di sangga sama temen-temen kamu." Ucapnya menatap anak tunggalnya dengan memelas.

Rassya merubah atensi nya ke arah sofa kamarnya. Menatap lelaki yang sibuk menonton TV. "Pah, tolongin dong."

Lelaki itu tertawa, "yah, salah kamu itu. Papah nggak bisa bela, Mamah kamu udah paling khawatir kalo kamu udah luka-luka kaya gitu. Susah." Ucapnya.

"Kenapa malah minta tolong Papah?"

"Yah, lagian Mamah ngomel mulu. Biasanya kan yang belain Aca itu Papah pas Mamah ngomel gini."

"Lagian Papah juga sih--"

Abdar menghela napas, menyenderkan kepalanya di punggung sofa. Seperti sudah tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

"Liat kan Sya? Papah kena omel juga akhirnya."

Rassya terkekeh melihat reaksi pasrah dari Papahnya.

Still UnderageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang