Akibat pikiran yang terlalu penat, Jill berusaha mengalihkan perhatian dengan berselancar di internet. Ia berupaya menemukan video-video lucu yang mampu membuat tertawa, agar permasalahan yang bersarang di otaknya dapat terlupakan barang sebentar saja.
Gadis itu tengah asyik menikmati video komedi pada salah satu channel youtube, ketika suara hentakan pintu mendadak terdengar. Jill lantas berhenti tergelak dan menekan tombol pause di layar. Pelan-pelan ia berjalan keluar, memandang pintu kamar Carlos.
“Carl, kau sudah pulang?” tanya Jill.
Tidak ada sahutan.
“Carl?” Jill memanggil sekali lagi. Kali ini, diiringi ketukan. Perempuan itu terlonjak kaget saat pintu di depannya mendadak terbuka. Wajah Carlos yang datar memenuhi pandangannya.
“Mengapa kau membanting pintu?”
“Memangnya kenapa? Terserah padaku. Ini tempat tinggalku,” ketus Carlos. Ia membalikkan tubuh, berjalan menuju jemuran kecil di sudut kamar. Tangannya meraih handuk berwarna putih dari sana, bersiap untuk mandi.
“Hei, mengapa kau ikut masuk?!” Carlos mendelik menyaksikan tingkah Jill. Bukannya pergi, perempuan itu justru berjalan ke dalam kamar Carlos, duduk di atas ranjangnya.
“Kau tidak menutup kembali pintunya. Kupikir kau mempersilakanku masuk,” Jill menjawab tanpa dosa.
Dengusan sebal terdengar. Sembari menyampirkan handuk pada pundak, Carlos bergerak mendekati nakas di sisi tempat tidur.
“Kau masih marah?” Jill bertanya hati-hati. “Carl, aku minta maaf.”
Carlos hanya diam. Ia membuka laci seakan mencari-cari sesuatu, berupaya terlihat sibuk.
“Aku sadar, tidak seharusnya aku mencampuri kehidupan pribadimu,” Jill berkata lagi. “Ke depannya, aku akan memastikan untuk tidak melewati batasku. Sekali lagi … maaf.”
Gerakan Carlos terhenti. Ia mematung beberapa saat, lalu menutup laci dengan sebelah tangan. Nada memohon dalam suara Jill terdengar jelas, membuatnya begitu ingin mengatakan bahwa ia tidak benar-benar marah. Namun, Carlos mengurungkan niat tersebut. Ia tetap bertingkah seolah mengabaikan gadis itu dengan berjalan menuju lemari. Mengambil sepasang kaus dan celana santai untuk pakaian ganti.
“Keluarlah. Aku ingin mandi,” katanya.
Jill menggigit bibir bagian bawah, menyadari Carlos masih menyimpan kesal. Perempuan itu mengitarkan pandangan, berupaya menemukan cara lain untuk memperoleh maaf dari Carlos. Saatnya tatapannya tertumbuk pada bantal, ia mengukir senyum.
Jill berbaring di ranjang milik Carlos, kemudian menutupi seluruh tubuh dengan selimut.
“Aku akan tetap berada di sini sampai kau memberi maaf,” katanya, dengan nada mengancam.
Carlos melotot. “Hei, apa yang kau lakukan?!”
“Menunggu maaf darimu,” Jill menjawab santai sembari menggerak-gerakkan kedua telapak kakinya.
“Setelah memasuki kamarku, sekarang kau menempati ranjangku dengan sembarangan. Sebagai seorang wanita, seharusnya kau memiliki tata krama. Atau jangan-jangan, kau memang sudah terbiasa memasuki kamar lelaki?!”
“Jika memang iya, lalu kenapa?”
“Kau—“ Carlos kehabisan kata-kata. Ia berjalan cepat ke arah Jill, berupaya menyingkap selimutnya. “Ayo, cepat keluar.”
“Tidak mau.”
“Keluar, Jill.”
“Tidak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Rose
RomantikFelicia Roselyn Adams memiliki seluruh kriteria wanita idaman Carlos Spencer. Bak sekuntum mawar putih, Felicia cantik, anggun dan elegan. Pembawaannya yang kalem dan misterius sungguh menarik hati Carlos. Hingga lelaki itu berusaha mengerahkan sege...