BAB 10

2K 395 136
                                        

Jillian bersenandung kecil sembari menata hasbrown olahannya di meja makan. Hari ini, ia memutuskan membuat pancake kentang sebagai menu sarapan. Tidak lupa, Jillian menyiapkan secangkir kopi untuk Carlos—sesuai kebiasaan lelaki itu setiap pagi.

“Wah, kau tampak berbeda dari biasa.”

Tiba-tiba saja, sebuah suara terdengar, diikuti derap langkah dari sepatu pantofel yang beradu dengan lantai. Tanpa perlu menoleh pun, Jill tahu itu suara Carlos. Sebab hanya mereka berdua yang tinggal di apartemen tersebut.

Jill menelusur tubuhnya sendiri, kemudian mendengus pelan. Dibanding berbeda, menurut Jill, piyama hijau bermotif magnolia yang ia kenakan saat ini justru membuatnya terlihat aneh.

“Aku tidak suka warna hijau,” gadis itu berkata jujur. “Terlebih motif bunga.”

“Wah, kau benar-benar tidak tahu cara yang tepat untuk berterima kasih.” Carlos tertawa kecil seraya menarik salah satu kursi. Begitu duduk, ia segera meraih cangkir kopi dari atas meja dan meneguknya.

“Aku berterima kasih, sungguh. Hanya saja, aku tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu saat memilihkan piyama ini untukku.”

“Kau selalu mengenakan kaus berwarna gelap. Entah mengapa, aku ingin melihatmu sesekali menggunakan warna yang cerah. Dan ternyata ... tidak buruk juga. Hijau muda membuatmu terlihat manis.”

Mendengar ucapan Carlos, Jill memutar bola mata.

“Hanya saja, sepertinya kau perlu pergi ke salon. Rambutmu butuh sedikit perawatan.”

Jill mengembuskan napas kesal. Dengan berkacak pinggang, ia menatap sebal pada Carlos. “Kau hanya berhak mengaturku soal pekerjaan, bukan penampilan. Aku nyaman seperti ini,” kata gadis itu seraya menyibak helaian rambutnya.

“Ya ya ya, terserah kau saja,” ucap Carlos akhirnya, terlalu malas untuk berdebat. Jill keras kepala, Carlos tahu itu. Memaksanya tentu tidak akan berguna.

“Kau tidak sarapan?” tanya lelaki itu kemudian, sembari memasukkan potongan kentang ke dalam mulut.

Jill menggeleng. “Segelas susu sudah membuatku kenyang,” sahutnya. Ia menarik kursi di hadapan Carlos dan menjatuhkan diri di atasnya. Sembari memandangi Carlos yang tengah melahap sarapan, dengan nada hati-hati, Jill mengganti topik pembicaraan. “Semalam, saat kau pergi bekerja, aku membereskan gudang. Di sana, aku menemukan fotomu bersama seorang pria. Apakah dia … kakakmu?”

“Hm.” Tanpa mengangkat wajah sedikit pun, Carlos mengangguk.

“Jika aku boleh tahu … siapa namanya?”

“Charles.”

Jill membulatkan bibir, membentuk huruf ‘o’. Ia menyadari perubahan pada raut wajah Carlos, namun entah mengapa, ia justru semakin ingin bertanya lebih jauh.

“Maaf jika ini terdengar lancang, tetapi sejak kemarin aku sungguh-sungguh penasaran tentang apa yang menyebabkan kakakmu meninggal dunia. Apakah dia … sakit?”

Gerakan tangan Carlos yang hampir kembali menyuapkan makanan seketika terhenti. Raut wajahnya yang datar berubah kian muram. Ia mengembalikan garpu ke atas piring, seolah mendadak kehilangan selera makan.

Mendapati perubahan Carlos yang begitu jelas, Jill menegang. Sepertinya, ia telah menanyakan hal yang salah.

“Maaf, aku hanya—“

“Sepertinya, aku perlu memperjelas soal ini,” Carlos menyela, sembari meraih tissue untuk menyeka bibirnya. “Aku bersikap baik padamu hanya karena merasa iba. Tetapi kurasa, kau menanggapinya dengan sedikit berlebihan. Kau hanya kuijinkan tinggal di apartemenku, bukan mencampuri kehidupan pribadiku. Jadi … tolong, pahami batasmu.”

Carlos mengucapkan rangkaian kalimat itu dengan nada dingin, sedingin tatapannya yang menghujam tepat ke manik mata Jill. Lelaki itu bangkit dari kursi, lalu berjalan begitu saja. Meninggalkan Jill yang mematung akibat ucapannya.

🌸 🌸 🌸

Beberapa hari terakhir, kau seolah berupaya menghindar.
Aku tidak mengerti mengapa,
tapi tolong beritahu jika aku telah melakukan kesalahan.
Atau tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang menyakiti hatimu.

Jangan menunda makan siangmu hanya karena aku ada di kafetaria.
Jika kau mau, aku bisa menahan diri untuk tidak pergi ke sana.

Felicia tertegun membaca secarik kertas yang menempel pada kotak makan siang pemberian Carlos. Untuk kedua kali, lelaki itu meminta seseorang mengantarkannya. Pasti, ia melakukan hal tersebut karena lagi-lagi, ia tidak menemukan Felicia di kafetaria.

Felicia menghela napas panjang, rasa bersalah merayapi benaknya. Sejauh ia mengenal Carlos, lelaki itu benar-benar bersikap baik. Dan menyenangkan. Namun kenangan akan masa lalunya, serta peringatan yang tak henti diucapkan oleh sang ibu membuat Felicia sungguh dilanda dilema.

Haruskah ia memercayai Carlos dan mulai membuka hati untuk lelaki itu? Tetapi … bagaimana jika Carlos hanya bersikap baik di awal, seperti sosok yang Felicia kenal di masa lalu?

Felicia mengusap wajah dengan gerakan kasar, benar-benar merasa frustasi. Usai berpikir beberapa saat, perempuan itu meraih ponselnya.

🌸 🌸 🌸

Carlos tengah melahap hidangan makan siang ketika ponsel dalam saku jasnya bergetar. Segera saja, ia meraih benda itu dan menemukan sebuah pesan masuk di layar.

Sir, apakah malam ini kita bisa bertemu?

Kedua bola mata Carlos sontak mendelik saat membaca nama pengirimnya. Felicia.

Tidak disangka-sangka, dalam hitungan menit, kotak makanan yang dikirim oleh Carlos membuahkan hasil. Dengan cepat, ia membalas pesan tersebut.

Tentu. Aku akan menunggumu di lobby sepulang kantor nanti.

Sembari tetap memandangi ponsel, Carlos meraih gelas di atas meja dan meneguk isinya. Tidak begitu lama, pesan balasan kembali datang.

Granville Café. Sebaiknya kita bertemu langsung di sana.

Tak apa, pikir Carlos. Setidaknya, Felicia masih ingin berbicara dengannya. Maka dengan segera, lelaki itu mengetikkan balasan.

Baiklah, jika begitu maumu. Sampai bertemu nanti.

Carlos nyaris mengembalikan gawainya ke dalam saku, namun urung sebab benda itu kembali bergetar. Ia pikir, Felicia kembali mengirim pesan, namun ternyata dugaannya salah.

Aku tahu, apa yang kulakukan pagi tadi sangat menyebalkan.
Sebagai bentuk permintaan maaf, malam nanti, aku akan menyiapkan makanan-makanan enak untukmu.

Mendapati nama Jill pada informasi pengirim, Carlos mengembuskan napas panjang.

🌸 🌸 🌸

Tidak perlu. Malam ini aku akan pulang terlambat.

Jill mendesah pelan saat membaca rangkaian kata tersebut. Dari ketikannya, Carlos terlihat benar-benar marah. Sepertinya apa yang Jill lakukan pagi tadi sungguh menyakiti hati Carlos. Padahal, demi apa pun, Jill tidak berniat demikian. Justru, ia bermaksud meringankan beban lelaki itu.

Di mata orang lain, Carlos adalah sosok humoris dan periang. Namun di balik sikapnya, Jill tahu, ia menyembunyikan luka yang begitu dalam. Dan sebagai sosok yang kini tinggal seatap dengan Carlos, Jill ingin mencoba lebih dekat dengannya.

Jill tidak dapat membalas kebaikan Carlos dengan materi. Oleh sebab itu, ia mencoba menjadi teman yang baik untuk Carlos. Menjadi sosok yang akan selalu menyediakan telinga, saat lelaki itu butuh tempat untuk bercerita.

Tetapi sepertinya … Carlos justru salah paham.

🌸 🌸 🌸

Jadi ... Usai membaca bab ini, apa yang ingin kalian sampaikan pada Carlos?

Terima kasih banyak buat teman-teman yang setia meninggalkan jejak.
Semoga kalian tidak bosan-bosan.❤️

See you in next chapt, gaes!
Makin cepat kalo komennya makin rameeee :p
Kiss'nHug❤️

My Beautiful RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang