BAB 13

3.1K 451 261
                                    

Beritahu saja keberadaanmu.
Aku akan menghampirimu ke sana.

Jill memilih opsi send, lalu cepat-cepat mengantungi ponselnya. Tanpa pikir panjang gadis itu meraih jaket dari balik pintu kamar, lalu berderap keluar, menuruni anak demi anak tangga dengan tergesa.

Beberapa hari lalu, Eric mengatakan bahwa ia hanya akan menghubungi Jill untuk sesuatu yang penting. Lalu sekarang, ketika lelaki itu mengatakan mereka harus bertemu, pikiran Jill segera melayang pada sosok tercintanya yang ia percayakan pada Eric.

“Mau ke mana kau?”

Suara berat Carlos terdengar, tepat saat kaki Jill menjejak di tangga terakhir. Ternyata, lelaki itu baru saja kembali dari kantor.

“Mengapa begitu terburu-buru?” Carlos bertanya lagi. Kedua alisnya bertaut mendapati ketegangan di wajah Jill. Gadis itu bahkan terlihat pucat, seolah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya.

“Aku harus pergi sebentar.”

“Pergi ke mana?”

“Menemui seseorang.”

Jill tidak punya banyak waktu untuk meladeni ucapan Carlos, sebab layar ponselnya menunjukkan pesan oleh Eric. Lelaki itu sudah mengirimkan lokasi keberadaannya, yang ternyata tidak jauh dari kontrakan Jill.

“Aku harus pergi.” Jill berjalan cepat, melewati Carlos yang kian merasa bingung. “Ah ya, kalau-kalau kau belum makan, aku sudah menyiapkan makanan. Kau hanya perlu menghangatkannya sebentar,” pesan Jill, sebelum ia benar-benar menghilang dari hadapan lelaki itu.

Carlos melirik arloji, waktu sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam.

Malam-malam seperti ini, mau ke mana dia?

🌸 🌸 🌸

Moonlight Café. Sesuai dengan namanya, kafe tersebut dihiasi berbagai ornamen bergambar bulan. Mulai wallpaper, hingga peralatan makan dan minuman yang disediakan.

Di bagian sudut, Eric duduk sendiri, ditemani dua cangkir minuman yang masih mengepulkan asap: espresso untuk dirinya, serta chocolate milk untuk Jill. Eric hapal betul, gadis itu tidak menyukai minuman berbahan kopi. Sejak kecil, ia sudah mendeklarasikan diri sebagai pecinta susu cokelat.

Perhatian Eric terusik saat sosok yang ditunggunya tiba-tiba saja muncul dengan gerakan tergopoh. Napas gadis itu terengah, wajahnya menyiratkan kecemasan.

“Apa sesuatu yang buruk telah terjadi?” Jill bertanya tidak sabar begitu mengambil posisi duduk di hadapan Eric.

“Mengapa kau pindah tanpa memberitahuku?”

“Apakah itu penting sekarang? Jawab pertanyaanku. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada ibu?”

“Tidak.”

Seraya menempelkan punggung pada sandaran sofa, Jill sontak mengembuskan napas lega. Beberapa menit belakangan, selama dalam perjalanan menemui Eric, jantungnya seakan berdetak dua kali cepat. Otak Jill sibuk menduga-duga, apakah Eric ingin menyampaikan kabar buruk padanya.

“Masih seperti kemarin, belum ada perkembangan apa pun.”

“Jadi, mengapa kau meminta bertemu?”

“Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Beberapa hari kemarin kau berhenti mengirimiku pesan.”

“Hei, kau pikir kenapa aku melakukan itu? Bukankah kau yang lebih dulu mengabaikan panggilan serta pesan yang aku kirimkan? Jadi untuk apa lagi aku melakukannya?” Jill mendengus, ia melemparkan tatapan sebal pada lelaki bertubuh tegap itu.

“Aku sengaja menahan amarahku lebih lama agar kau berpikir lebih banyak. Kau selalu bersikap seperti itu. Seolah tidak membutuhkan bantuan orang lain,” cecar Eric, lebih terdengar seperti omelan.

Jill mengembuskan napas lelah. “Eric … kau sudah terlalu banyak membantu kami,” lirihnya pelan.

“Tapi apa yang kulakukan, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang kalian lakukan padaku. Jika bukan karena kau dan ibu..." Eric meneguk ludah, "mungkin sekarang, aku sudah menjadi gelandangan. Atau bahkan … tidak lagi ada di dunia.”

Sepasang mata elang milik Eric menembus jauh ke dalam manik cokelat Jill. Lelaki itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya mencondongkan tubuh ke arah Jill. Jemarinya yang kokoh dan panjang meraih tangan gadis itu, lalu menggenggamnya dengan lembut.

“Rose, sebanyak apa pun aku berusaha membalas, cinta yang ibu dan kau berikan tidak akan pernah terbayar. Jadi … biarkan aku mendedikasikan hidupku untuk kalian.”

Di atas kursi, Jill bergeming. Keteguhan terdengar jelas pada nada bicara Eric, serupa tatapannya yang begitu serius. Terlebih, lelaki itu memanggil dengan nama kecil Jill—yang belakangan tidak pernah lagi didengarnya. Tepatnya, sejak sang ibu dinyatakan koma dengan status vegetatif, setahun yang lalu.

Air mata Jill perlahan merebak. Rasa rindu terhadap sosok tercintanya kembali menyeruak.

🌸 🌸 🌸

Kamar itu bercat putih bersih, aroma obat-obatan begitu kental memenuhi segenap udara di dalamnya. Pada ranjang yang berada di tengah ruangan, seorang wanita paruh baya berbaring tidak berdaya, dengan kedua mata teguh tertutup. Sejak tragedi kecelakaan hebat yang dialaminya setahun lalu, wanita bernama Margareth Hoffman tersebut dinyatakan koma, dan harus dirawat secara intensif dengan bantuan berbagai alat medis.

Eric memandangi wajah Margareth cukup lama, lalu berjalan beberapa langkah, kian mendekati ranjangnya. Dengan gerakan sangat pelan, Eric membelai punggung telapak tangan wanita itu—yang sudah ia anggap selayak ibu kandungnya sendiri.

“Ibu … Rose sangat merindukanmu. Ibu harus segera sadar dan bertemu dengannya. Ibu harus memeluknya dengan sangat kuat. Dia sudah berjuang begitu keras….”

Sebagai seorang lelaki, Eric tidak suka menangis. Namun entah mengapa, memandang Jill beberapa puluh menit lalu, serta mengingat bagaimana gadis itu harus berjuang seorang diri demi kesembuhan ibunya, air mata Eric tidak mampu terbendung.

🌸 🌸 🌸

Jill tiba di apartemen Carlos nyaris pukul duabelas malam. Pembicaraan cukup panjang bersama Eric membuatnya harus pulang lebih lama. Namun demikian, hatinya sudah merasa lebih tenang.

“Carl, aku pulang!” Jill berseru ringan, kakinya berderap menuju ruang keluarga. “Apakah kau sudah tid—“

Mendadak ucapan gadis itu berhenti, tepat saat pandangannya tertumbuk pada sofa. Di sana, Carlos sedang duduk bersama seorang wanita. Jill jelas tidak asing dengan wajah tersebut, sebab ia sudah sering melihatnya pada figura-figura keluarga yang dimiliki Carlos.

Wanita paruh baya itu adalah Barbara Spencer. Ibu kandung Carlos.

🌸 🌸 🌸

Sampai sini jelas ya gengs, Jill dan Feli nggak ada hubungan apa pun. Mereka bukan kakak beradik😅

Kira-kira, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan si tengil dan si barbar ini ya?

Jejaknya jangan lupa gengs, yang rameee myehehee

Luv❤️

My Beautiful RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang