"Jill ... Apakah kau ingin menikah?
Sepasang pupil Jill sontak membesar saat mendengar pertanyaan Carlos. Kakinya seakan terpaku pada lantai, membuatnya urung melanjutkan langkah. Pelan-pelan, ia mengembalikan pandangan pada Carlos. Lelaki itu kini merebahkan kepala pada sandaran sofa, kedua matanya tampak terpejam.
Jill meneguk saliva. "Mengapa kau bertanya begitu?"
Helaan napas panjang terdengar dari bibir Carlos. Lelaki itu memijit pelipis, berupaya mengurai penat yang menyesak dalam kepala. "Orang-orang selalu memaksaku untuk segera menikah. Aku mulai bosan."
Jill mengangguk-angguk mengerti. Seraya mengambil posisi di sebelah carlos ia berkata, "Kalau begitu, kau tak perlu mendengarkan orang-orang. Pernikahan adalah hal yang sakral, bagaimana mungkin kau sembarangan melakukannya hanya karena paksaan dari orang lain?"
"Aku ingin seegois itu, tapi ... sulit sekali," ucap Carlos. Ia membuang napas dengan keras, seakan dengan demikian beban dalam pikirannya akan turut terhempas. "Dalam keluarga, aku hanya memiliki seorang saudara. Tetapi saat umurnya masih remaja, dia mengalami suatu kejadian yang ... secara terpaksa merenggut nyawanya."
Jill mendengarkan dalam diam. Ini kali pertama Carlos terbuka dengan masalah pribadinya. Meski tanpa menceritakannya pun, Jill paham dengan baik, lelaki itu tengah menanggung beban yang berat. Carlos hanya terlalu pintar menyembunyikan seluruh rasa sakitnya.
"Sekarang, kedua orang tuaku sudah semakin tua," Carlos melanjutkan ucapannya, "tentu, hanya aku yang menjadi tumpuan harapan mereka. Ibu berulang kali menanyakan hal yang sama setiap kali menghubungiku. Dan ayahku ... meski hubungan kami tidak begitu baik, aku tahu dia pasti menginginkan hal serupa."
Jill menghela napas panjang. Sejujurnya, ia bisa turut merasakan beban yang tengah ditanggung oleh Carlos.
"Menjadi tumpuan harapan memang berat. Ada saatnya kita akan berpikir, mengapa harus kita yang memikulnya. Namun meski demikian, tetap saja kita tidak mampu melepas tanggung jawab itu. Terlebih saat melihat wajah orang-orang yang kita sayangi ... pada akhirnya, kita selalu ingin berkorban untuk mereka."
Jill menatap kosong pada lantai, seakan memandang kilasan kisah hidupnya di sana. Gadis itu sama sekali tidak menyadari jika kini Carlos sudah menoleh padanya. Ia mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan ucapan Jill.
"Kau benar." Hanya itu yang Carlos ucapkan. Setelahnya, hening menyergap untuk waktu yang cukup lama. Keduanya seakan tenggelam dalam lautan pikiran. Meski tidak banyak berbagi cerita, keduanya seolah mengerti akan beratnya problem hidup masing-masing.
Sampai akhirnya, Carlos bangkit dari sofa. Tangannya bergerak meraih tas dan jas, bersiap membawa dua benda itu ke kamar.
"Selagi aku mandi, tolong siapkan makan malam," ucap Carlos, memecah lamunan Jill. Gadis itu mendongakkan wajah, lalu cepat-cepat mengangguk.
🌸 🌸 🌸
Usai membersihkan diri di kamar mandi, Carlos berjalan menuju ruang makan. Di sana, ia mendapati Jill sedang menata wadah-wadah berisi makanan. Dalam hati, Carlos menyimpan kagum untuk Jill. Meski penampilannya berantakan, hasil kerja wanita itu sangat rapi. Bahkan, makanan yang ia masak dapat dikategorikan enak. Tidak jarang, menu-menu yang ia siapkan justru mengingatkan Carlos pada sang ibu. Dan itu cukup mengobati kerinduan pada wanita tersayangnya tersebut.
"Mengapa piringnya hanya satu?" Carlos mengernyit heran, saat Jill hanya meletakkan sebuah piring di atas meja.
"Memangnya kau mengundang orang lain untuk makan di sini?" Jill balas bertanya, tidak kalah heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Rose
RomansaFelicia Roselyn Adams memiliki seluruh kriteria wanita idaman Carlos Spencer. Bak sekuntum mawar putih, Felicia cantik, anggun dan elegan. Pembawaannya yang kalem dan misterius sungguh menarik hati Carlos. Hingga lelaki itu berusaha mengerahkan sege...